Friday, January 29, 2010

BHP adalah komersialisasi dalam dunia pendidikan

Lahirnya BHP

Berawal dari pemberlakuan dari Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 61 Tahun 1999 tentang Perubahan status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Badan Hukum. Maka, berbondong-bondonglah universitas-universitas di Indonesia berusaha meraih status tersebut. BHMN notabene adalah konsep yang digagas pada tahun 1998, yang tujuannya waktu itu adalah untuk mengurangi tekanan atas krisis keuangan yang waktu itu diderita Indonesia. Ide ini bergulir ke arah otonomi kampus untuk mengatur rumah tanggganya sendiri. Dengan status BHMN, anggaran sebuah kampus dikalkulasi sendiri dengan adanya “jargon” sisi akuntabilitas yang tinggi jika suatu kampus sudah mendapat status BHMN. Dan, dengan begitu, kucuran anggaran pemerintah untuk kampus tersebut akan semakin mengecil. Ribut-ribut soal konsep penyelenggaraaan pendidikan tinggi semakin panas dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Yang pada pasal 53, dengan 4 ayat didalamnya, mengamatkan diterapkannya konsep BHP (Badan Hukum Pendidikan) untuk semua PTN di Indonesia. Hinga lahirnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
ada tiga alasan utama yang mebuat konsep BHP menjadi mudah diterima dan menjadi perbincangan hangat. Pertama, hampir sama dengan yang dikatakan Somenatri, soal keterbatasan anggaran pendidikan yang disediakan Negara pada masyarakat. Kedua, soal deetatisme yang digembor-gemborkan sebagai jalan otonomi kampus sepenuhnya. Ketiga, soal kapitalisme global yang semakin lama semakin pasti mensyaratkan privatisasi berbagai lembaga milik Negara untuk dipersaingkan ditengah pasar bebas.
BHP merupakan bentuk reformasi pengelolaan dan penyediaan pendidikan, baik yang diselenggarakan pemerintah Indonesia maupun masyarakat. Bagi PTN, inilah saatnya untuk otonomi kampus. Mereka dapat mengatur kebijakan sendiri. Lebih dari pada itu, mereka diharapkan dapat mandiri dan tidak lagi terlalu bergantung pada pemerintah. Untuk dapat menuju universitas standart global, pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi kampus kepada seluruh PTN di Indonesia. Konsep BHMN bagi PT mengharuskan seluruh PTN memenuhi kebutuhannya sendiri terutama soal keuangan.

Logika BHP adalah logika pasar, mengandalkan hilangnya logika kerakyatan

Banyak pihak yang meragukan BHP, karena ditengarai konsep BHP telah mencemari komitmen dan kesejatian pendidikan. Dari awal terbentuknya Republik ini, cita-cita pendidikan adalah memberikan kesempatan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akhirnya PTN yang telah (akan) menjadi BHP berlomba-lomba berusaha untuk menuntaskan ambisinya tersebut. Mulai dari penerimaan mahasiswa baru secara lokal dan berstatus Non Reguler, yang pastinya semakin banyak menambah masuknya dana dengan pembayaran uang pangkal dan uang SPP yang lebih dan relatif mahal dibanding dengan uang iuran yang didapat dari mahasiswa Reguler. Lalu, penetapan prinsip Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau PK BLU, hingga masalah pendirian unit usaha yang dalam PP No. 61 Tahun 1999 sudah diperbolehkan. Dalam PP tersebut, PTN yang sudah menyandang status Badan Hukum diperbolehkan mendirikan unit usaha dalam dua kelompok. Unti usaha dibedakan menjadi auxiliary enterprices yang berkaitan erat dengan fungsi PT yang sudah diatur dalam Tri Darma Perguruan Tinggi, dan commercial fentures yang tidak berkaitan langsung dengan Tri Darma

Rakyat yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi adalah “pasar”. Sehingga, untuk tetap bertahan, suatu PT harus mampu menuruti kemauan pasar. Salah satu contohnya adalah penutupan suatu prodi yang tidak ada peminatnya. Jarang ada usaha untuk menggalakkan prodi tersebut agar banyak peminatnya kembali, bisa dibilang hal itu akan menghilangkan satu disiplin ilmu bisa berkembang. Yang terjadi malah beramai-ramai membuka prodi yang banyak peminatnya, dnegan janji-janji cepat diterima.
Bisa dibilang jika sebuah PTN menjadi BHP ibarat sebuah pabrik yang menjual produk Yaitu kurikulum yang dijual harus berorinetasi pasar. Sehingga lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pusat kajian dan penelitian ilmu baru akhirnya berubah menjadi pelayan pasar. Bisa digambarkan jika PTN menjadi BHP kurikulumnya akan dibuat sesuai dengan kebutuhan pasar. Dengan begitu fakultas-fakultas yang tidak “menjual” akan bangkrut dan gulung tikar.

Kesibukan PT saat ini bukan lagi melayani kebutuhan pendidikan masyarakat sesuai dengan amanat UUD 1945. namun, sibuk menacari uang, yang menghanyutkan komitmen pendidikan untuk rakyat. Konsep pendidikan yang merakyat, dimana pendahulu kita dengan susah payah memperjuangkannya. Kini semakin menghancurkan amanat dan cita-cita tersebut. Konsidi yang dialami rakyat sekarang lebih tragis dari pada jaman penjajahan dulu. Karena pembodohan dilakukan oleh aparatur Negara sendiri, dengan semakin menciutkan kesempatan masyarakat yang terbilang tidak mampu untuk mengenyam pendidikan. Padahal, sebuah institute pendidikan berfungsi untuk meningkatkan kualitas kecerdasan dan untuk menciptakan lulusan dan sarjana yang kreatif, inofatif, dan berdaya saing tinggi. Sehingga nantinya dapat memajukan negara ini dimata internasional. Bukannya manusia hasil cetakan manusia yang hanya menjadi mesin pekerja. Yang lebih jelas lagi adalah betapa Bank Dunia sangat mendukung konsep Badan Hukum ini, dengan penyediaan bantuan teknis dan konsiltan kaliber dunia. Bank Dunia selama ini memang menjadi “sukarelawan”, bagi dunia pendidikan di Indonesia. Bukan hanya untuk perguruan Tinggi, tapi juga mulai dari tingkat SD sampai SMU. Dari sudut pandang Bank Dunia, hanya untuk meningkatkan pendapatan yang paling penting, dan caranya adalah dengan menciptakan pasar-pasar baru, yang salah satunya adalah pendidikan. Dan, Indonesia kini benar-benar terjerat dalam lemabaga bantuan dunia tersebut

Mencapai status BHP, yang kini menjadi idaman setiap PTN di negeri ini, tidaklah mudah. Karena ada prosedur dan standart yang cukup kompleks. Seperti evaluasi diri secara menyeluruh, lalu penetapan renstra yang dikaji oleh para pakar pendidikan domestic dan internasional. Sampai tahap BPKP melakukan appraisal atas kekayaan universitas tersebut. Dan penetapan penggunaan PK BLU Karena, PK BLU sendiri merupakan sistem transisi sebelum BHP diterapkan. Sayangnya, kualaitas pendidikan, lulusan, dosen, mahasiswa, sistem pelayanan, dan penelitian serta realisasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi banyak yang tidak dikebut. Dan seolah-olah ditinggalkan.

Dapat di katakan bila belum siap untuk menyandang status BHP. Pun dengan PT yang telah memberlakukan BHP dikampusnya. Walaupun dengan dalih otonomi kampus, akan kelihatan dampak yang muncul. Tidak jauh beda dengan swastanisasi pendidikan

Yang lebih penting mari menolak BHP, karena banyak juga kelemahan BHP yang selama ini tidak pernah dimunculkan. Pertama, kesenjangan pendidikan yang membuat ketidaksiapan banyak universitas di pedalaman yang lemah secara infrastruktur dan konsep. Kedua, prinsip perwakilan dalam majelis wali amanat yang tidak jelas. Dan ketiga, bagaimana mengontrol fungsi dan peran kampus. Dengan alasan-alasan itu sudah jelas kita wajib menolak BHP. Tidak ada lagi alasan krisis pendanaan karena sudah waktunya mengembalikan kesadaran pemerintah bahwa mereka juga bertanggung jawab akan hal itu. Kalau manajemen kita bagus dan kita berpikir cerdas sesuai cita-cita pendidikan bangsa Indonesia, impian rakyat memperoleh pendidikan layak dapat terwujud. Karena itulah komitmen terbesar bangsa ini terhadap pendidikan rakyatnya.

Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.

Berdasar data Survey sosial ekonomi nasional (Susenas) 2003, APS (Angka Partisipasi Sekolah) karena faktor kemiskinan sebagai berikut; sebesar 75,7 % anak Drop Out pada tingkat SD, 67,0 % tidak melanjutkan sekolah, dan 8,7% tidak melanjutkan sekolah karena memilih bekerja. APS (usia 13-15) 20% terkaya sebesar 8,7%, sementara (usia 13-15) 20% termiskin sebesar 67,28%. APS (usia 13-15) di perkotaan adalah 89,6%, sedangkan di pedesaan 66,7%. Sementara itu, APS usia 16-18 di wilayah perkotaan 66,7% dan di pedesaan 39,9%. APS (usia 16-18) 20% terkaya sebesar 75,62% dan 20% termiskin adalah 28,52%.

Dunia pendidikan di Indonesia makin lama makin memprihatinkan. Pemerintah tak mampu lagi membendung arus komersialisasi sehingga biaya pendidikan sangat mahal. Bahkan sekolah dan perguruan tinggi negeri yang dulunya dikenal sebagai tempat menimba ilmu bagi rakyat kecil kini tak lagi tersentuh. Misalnya saja, untuk masuk ke PTN saat ini perlu duit sampai puluhan juta rupiah. Kondisi demikian mengundang keprihatinan mahasiswa
Negara yang berpihak pada rakyat adalah negara yang bertanggung jawab untuk mencerdaskan dan memajukan kehidupan rakyat. Namun semua itu tak pernah dijalankan oleh rezim berkuasa karena mereka justru lebih berpihak kepada pemilik modal dan hasilnya dapat ditebak, menjadikan pendidikan kapitalistik

esensi pendidikan harusnya memanusiakan manusia tapi sekarang sudah bergeser. Buktinya, terjadilah komersialisasi pendidikan dengan disahkannya RUU Badan Hukum Perguruan Tinggi.
Dan Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, hasil survei pada Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Mampukah orang miskin mengenyam pendidikan? atau pendidikan hanya untuk orang kaya.. dan yang miskin termarginalkan...