Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang masalah
Indoenesia
adalah satu bangsa dan Negara yang secara politis, resmi merdeka sejak tanggal
17 agustus 1945. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, di peta dunia
kepulauan Indonesia tampak sangat cantik karena dari barat sampai ke timur
berjejer pulau – pulau dengan komposisi dan kontruksi yang indah, mulai dari
pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, pulau – pulau Nusa Tenggara, pulau –
pulau Maluku dan Irian Jaya. Di pulau – pulau tersebut berdiam penduduk yang
bervariasi bahasa daerahnya, seni budayanya, agama kepercayaannya, adat
istiadatnya, dan kebiasaannya. Bahkan bervariasi pula flora dan faunanya yang
indah, mulai dari anggrek kribo sampai dengan beringin putih atau mulai dari
burung cendrawasih sampai dengan badak bercula serta komodo yang tidak dijumpai
di manapun di muka bumi ini selain Indonesia. Itulah sebabnya kepulauan
Nusantara ini disebut juga bagaikan ratna mutu manikam.
Secara
geografis kepulauan Indonesia ini strategis karena dilalui khatulistiwa,
sehingga siang dan malam diterima penduduk seimbang. Diapit pula oleh dua benua
yaitu Australia dan Asia, serta dua lautan besar yaitu Pasifik dan Hindia,
sehingga akan memajukan perdagangan. Jadi kehadiran Indonesia di mata dunia
memang bagaikan zambrud di Timur Jauh.
Selama
lebih dari setengah abad merdeka, bangsa Indonesia baru memiliki 6 presiden,
selain daripada itu juga pernah sewaktu Indonesia dalam kondisi darurat
dipimpin oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara. Di Indonesia ada dua presiden yang
paling memiliki peran besar dalam proses pembangunan yang masa kepemimpinannya
memiliki waktu yang cukup panjang yaitu Soekarno dan Soeharto.
Soekarno
dan Soeharto yang bagaimanapun pernah dianggap sebagai bapak bangsa, berlaku
tirani pada akhir pemerintahannya, Soekarno sempat dinyatakan sebagai presiden
seumur hidup sehingga berkuasa selama dua puluh satu tahun pada era Orde Lama,
sedangkan Soeharto dengan rekayasa politiknya dalam pemilihan umum sebanyak
tujuh kali berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut – turut pada era Orde
Baru.
Ketiranian
ini bukan berangkat dari Pancasila karena falsafah ini sudah berjuang
menyeimbangkan sila – silanya, namun sebenarnya berasal dari keberadaan UUD
1945, yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislatif dan lembaga tinggi
lain termasuk lembaga tertinggi yaitu MPR. Mengapa para pendiri Republik Indonesia
ini membesarkan peran eksekutif adalah
karena bermaksud untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah – tengah
kebhinekaan suku, agama, pulau, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan
yang ada di Indonesia.
Era Pasca
Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai
pada pertengahan 1998,
tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998 dan
digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis moneter yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak
puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu
menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto
semakin disorot setelah Tragedi
Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia.
Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya
memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Habibie mewarisi kondisi kacau
balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus pada masa orde
baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh
wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera
membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali
mendapatkan dukungan dari Dana
Moneter Internasional dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya
yang singkat ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, pada eranya
dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai
Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi
daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak
disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya
dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU
otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet
dan Yugoslavia.
Tujuan negara Republik Indonesia ada empat, yaitu seperti
yang disebutkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Keempat tujuan negara
itu adalah:
1.
Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.
Memajukan
kesejahteraan umum
3.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa
4.
Ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial
Melihat
kondisi yang terjadi hari ini dimana banyak terjadi berbagai permasalahan baik
masalah ekonomi, politik, sosial – budaya, idiologi, pemerataan pembangunan,
pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan menjadi tantangan bagi pemimpin kita
untuk bisa menjawab dan memecahkan permasalahan tersebut. Apakah gaya
kepemimpinan dan birokrasi kita bisa mewujudkan apa yang selama ini menjadi
cita – cita bangsa ini.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan
pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan presiden dalam
mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada
alenia ke 4 ?
2.
Bagaimana peran Birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan
tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4 ?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan
presiden dalam mewujudkan tujuan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
2.
Untuk mengetahui apakah ada peran birokrasi di
Indonesia dalam mewujudkan tujuan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam
pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
1.4 Manfaat
Sebagai sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengaruh gaya
kepemimpinan dan peran birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan Untuk
mengetahui apakah ada peran birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan
bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4..
Pembahasan
2.1
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Presiden Republik Indonesia dalam mewujudkan tujuan
Negara.
Sebuah organisasi
harus memiliki visi, misi dan strategi. Dengan kata lain, organisasi harus
mencapai tujuan. Alasannya sederhana, organisasi adalah sebuah institusi yang
menarik manusia – manusia agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
sama, tujuan bersama, dan tujuan masing – masing. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada
di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu
sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan
berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah
negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang
berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara
lain.
Negara adalah suatu
kelompok persekutuan, alat organisasi kedaerahan, dan kewilayahan yang memiliki
sistem politik yang melembaga dari rakyat, keluarga, desa, dan pemerintah yang
lebih tinggi terdiri dari orang – orang yang kuat memiliki monopoli,
kewibawaan, daulat, hukum, dan kepemimpinan yang bersifat memaksa sehingga pada
akhirnya memperoleh keabsahan dari luar dan dalam negeri. Selanjutnya
organisasi ini memiliki kewenangan untuk membuat rakyatnya tentram, aman,
teratur, terkendali di satu pihak dan di lain pihak melayani kesejahteraan
dalam rangka mewujudkan cita – cita bersama.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara
umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat)
mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan
dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi,
termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai
anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud
didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu
negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di
Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Presiden RI, baru enam
kali berganti sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu :
1.
Dr. (HC) Ir.
Soekarno (1945-1966) ;
2.
Jend. TNI (Purn.)
Soeharto (1966-1998) ;
3.
Prof. Dr. Ing. B.J.
Habibie (1998-1999) ;
4.
K. H. Abdurahman
Wahid (1999-2001) ;
5.
Dr. (HC) Megawati
Soekarno Putri (2001-2004) ;
6.
Jend. TNI (Purn.) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, MA (2004 –
sekarang )
Masing – masing
presiden memiliki gaya kepemimpinannya sendiri, disini yang paling menyorot
perhatian adalah gaya kepemimpinan presiden Soekarno, Soeharto dan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Gaya kepemimpinan
erat hubungannya dengan kematangan dalam bidang pekerjaan maupun kematangan
dalam bidang psikologis, maka dalam memimpin seseorang akan mempunyai gaya yang
berbeda – beda dengan seorang pemimpin lainnya. Gaya kepemimpinan seseorang
bukanlah semata – mata bergantung pada watak seorang pemimpin saja, tetapi ada
kecenderungan dari seorang pemimpin untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang
berbeda dalam menghadapi bawahan yang beraneka ragam tingkat kedewasaannya.
Kemampuan seorang pemimpin untuk mengerti dan mendalami kemampuan dan
kedewasaan bawahannya sangat berpengaruh pada gaya yang dipilihnya dalam
memimpin dan pada gilirannya akan memengaruhi tercapainya tujuan yang
dikehendaki.
Kepemimpinan
harus meliputi beberapa hal penting sebagai berikut :
1. Seni
dan ilmu – yang dinamis dan bersifat situasional, serta bisa dipelajari
2. Kemampuan
( pengetahuan dan keterampilan ) memengaruhi orang lain
3. Keinginan
memengaruhi orang lain
4. Kemampuan
menggerakkan orang lain berdasarkan cara – cara yang disukai
5. Membantu
orang untuk menemukan nilai dan potensi mereka dengan memberikan inspirasi
sehingga mereka memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan memenmukannya
dalam diri mereka.
Kepemimpinan
lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang
terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial ( zoon politicon
) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhan – nya ( homo sapiens ).
Abrahan Maslow mengidentifikasi adanya 5 tingkat kebutuhan manusia :
1. Kebutuhan
biologis
2. Kebutuhan
akan rasa aman
3. Kebutuhan
untuk diterima dan dihormati oleh orang lain
4. Kebutuhan
untuk memiliki citra yang baik
5. Kebutuhan
untuk menunjukkan prestasi yang baik.
Dalam upaya
memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia kemudian menyusun organisasi dari yang
terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai
kepentingan. Awalnya hanyalah dari sebuah kelompok yang berkembang hingga
menjadi suatu bangsa. Dalam konteks inilah, sebagaimana dikatakan Plato dalam
filsafat Negara, lahir istilah kntrak sosial dan pemimpin atau kepemimpinan.
Soekarno, Soeharto dan Susilo. Ketiga mantan presiden ini
menjadi topik pembicaraan yang hangat di masa pemerintahannya. Mereka memiliki
kesamaan dalam lamanya berkuasa di negeri ini. Bandingkan dengan Habibie, Gus
Dur, dan Megawati. Kekuasaan ketiga mantan presiden itu tak lebih dari seumur
jagung. Untuk mempertahankan status quo-nya, Soekarno pernah mengangkat dirinya
menjadi presiden seumur hidup. Demikian pula dengan Soeharto, biar kekuasaanya
tetap langgeng, dia menyulap sistem multipartai menjadi dua partai dan satu
golongan karya, dengan Golkar sebagai kontestan yang selalu menang pemilu di
setiap periodenya. Soeharto pun menjadi presiden terlama di Indonesia, sekitar
32 tahun. Bagaimana dengan Susilo? Beliau sudah terpilih menjadi presiden untuk
kedua kalinya. Apabila undang-undang tentang masa jabatan presiden tak diubah,
tentu Susilo bisa mengikuti jejak kedua koleganya itu. Walau ketiga presiden
Indonesia tersebut memiliki kesamaan, perbedaannya pun banyak pula, terutama
dalam hal gaya pemerintahan atau gaya kepemimpinan.
Soekarno selama berkuasa di negeri ini menjadi pemimpin
yang sangat tegas, tidak bisa di intervensi oleh siapa pun, termasuk Amerika
Serikat sebagai negara super power. Bahkan ia bermusuhan dengan negara-negara
barat karena terlalu mengintervensi urusan pemerintahannya. Soekarno pun
berteriak, “Go to hell with your aid”. Demikian kata Soekarno suatu ketika.
Bahkan Soekarno pun pernah menyatakan, “Ganyang Malaysia” gara-gara keinginan
malaysia untuk mengggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak, serta tanah Kalimantan
dalam Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Bisakah pemimpin sekarang
berkata seperti itu? Soekarno pun punya idealisme tinggi tentang negara
Indonesia yang pernah dia proklamirkan ini. Dia ingin menjadikan negeri ini
menjadi negeri mandiri tanpa didikte oleh siapapun.
Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai ‘yel –
yel’ perjuangan yang membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular
adalah Nasakom ( Nasional, Agama, dan Komunis ), Jas Merah ( Jangan Lupakan
Sejarah ), Tavip ( Tahun Vivere Veri Coloso ) dan lain – lain. Dalam menghayati
Pancasila, pandangan hidup tersebut diperas menjadi tiga unsure penting yang
disebut Trisila, kemudian Trisila ini masih dapat diperas menjadi satu untuk
utama yaitu Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom. Dengan adanya
pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis mendapat posisi yang dominan,
karena merupakan salah satu dari tiga unsure utama disamping partai – partai
agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Begitu
pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan Pememrintahan
Daerah, Yaitu UU No. 18 Tahun 1965. Dalam UU tersebut diatas dinyatakan bahwa
bagaimana pun keadaan anggota parlemen di daerah, unsur Nasakom harus diperhatikan
dalam penunjukan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi bila di
suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, namun ia harus diikutsertakan sebegai
pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota DPR Daerah tertentu.
Jendral A. H. Nasution sekalipun secara formal masih
mendukung Demokrasi Terpimpin, namun semenjak tahun 1963 hubungan beliau dengan
Presiden Soekarno mulai renggang. Kedua orang kuat Indonesia ini mulai
mempunyai sikap yang bertentangan dalam menghadapi PKI. Soekarno merangkulnya
sedangkan Nasution mencurigainya.
Ketika Presiden Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya
yang dikonsultasikan kepada dokter Cina dari Beijing, berbagai kelompok mulai
gelisah memperhitungkan bagaimana mereka dapat lebih naik ke puncak kekuasaan.
Ada dua kelompok penekan Angkatan Darat yang diisukan waktu itu yaitu Dewan
Jendral ( yaitu mereka yang diduga akan menggulingkan Soekarno ) dan Dewan
Revolusi ( yang sangat setia membela Soekarno ). Meningkatnya suhu politik pada
saat itu dikaitkan dengan siapa pengganti Presiden Soekarno jika beliau wafat,
karena pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak pernah lagi diadakan dan wakil
presiden secara resmi tidak pernah ada lagi sejak Bung Hatta mengundurkan diri
( walau pun ada perdana menteri ). Bung Hatta, setelah beliau pamit dan
meninggalkan jabatan Wakil Presiden menulis sebagai berikut ini :
“sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak
memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang
menciptakan suatu pemerintahan yang adil dan akan melaksanakan demokrasi
sebaik-baiknya, serta kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Bertolak
belakang dengan realita dalam pemerintahan itu sendiri, karena pada
kenyataannya dan dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi
yang sebenarnya. Apalagi sejak tiga tahun terakhir ini kelihatan benar
tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar.
Presiden yang menurut UUDS 1945 adalah Presiden konstitusional yang tidak
bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri
menjadi formatir cabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang
bertanggung jawab dan tiada memikul tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk
dengan cara yang ganjil tersebut diterima begitu saja oleh parlemen, dengan
tiada mengatakan keberatan yang prinsipil, malahan ada yang membela tindakan
Presiden itu dengan dalil, yaitu “Keadaan Darurat””.
Hanya ada dua kandidat yang disebut-sebut sebagai presiden
waktu itu, yaitu Letjen. A. Yani dan Jenderal A. H. Nasution ( keduanya sangat
dibenci oleh PKI ). Setelah berhasi membangkitkan isu-isu antara si kaya dan si
miskin kemudian menyebarluaskan program sama rata sama rasa lalu pada puncaknya
melakukan pembantaian di Lubang Buaya Jakarta, dengan sasaran utama mereka
adalah para Jenderal yang semula paling keras menentang dipersenjatainya
angkatan kelima buruh tani, PKI melakukan aksinya. Jenderal A. H. Nasution
luput dari pembunuhan ini tetapi perwira Angkatan Darat lainnya yang didatangi
pada malam yang sama gugur sebagai kusuma bangsa, mereka adalah sebagai berikut
:
1.
Letjen A. Yani
2.
Mayjen M. T Haryono
3.
Mayjen S Parman
4.
Mayjen Suprapto
5.
Brigjen D. I.
Panjaitan
6.
Brigjen Sutoyo S.
7.
Lettu Piere Tendean
PKI menuding Dewan Jenderal bekerjasama dengan CIA, pada
waktu itu RI sedang dalam kondisi bertentangan dengan kerajaan Malaysia yang
dibantu Inggris dan Amerika Serikat, itulah sebabnya Indonesia keluar dari PBB
karena muaknya kepada Neo Kolonialisme Imperialisme ( Nekolim ), untuk itu
pemerintah harus diselamatkan, demikian Alibi PKI. Gugurnya Letjen A. Yani
membuat jabatan Panglima AD menjadi kosong, pada saat itulah Mayjen Soeharto
berjuang mengisi kekosongan tersebut yang sebenarnya rekannya Mayjen Pranoto
sudah ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno untuk mengisi jabatan tersebut.
Soeharto menolak penunjukan tersebut, karena memang sudah mengumumkan dirinya
melalui RRI yang direbut sesudah terbunuhnya para jenderal, dengan beliau
sebagai penguasa keadaan. Sebagai Panglima Kostrad, Pak Harto tidak tercantum
di dalam daftar hitam yang akan di bunuh PKI, bahkan kolonel latif melaporkan
bahwa akan melakukan pembunuhan tujuh jenderal besok pagi, tetapi Pak Harto
diam saja.
Setelah peristiwa pembunuhan tujuh jenderal yang terjadi di
Lubang Buaya Jakarta, Soekarno menyinkir ke Bogor berpisah dengan para
pendukungnya. Dalam kondisi seperti inilah yang dimanfaatkan Pak Harto untuk
mengkondisikan supaya menjadi pahlawan dengan meminta Surat Perintah Sebelas
Maret ( Supersemar ) yang sebenarnya setelah keadaan aman dan kekuasaan kembali
diserahkan kepada Panglima Tinggi, Bung Karno. Jadi menurut Kolonel CHK.
Sianturi, SH Oditur Militer yang bertugas menangani perkara kolonel Latif,
terdakwa dijerat dengan Hukum Pidana ( KUHP ) bukan Subversi. Sebetulnya
pengakuan Latif bahwa ia sudah melapor kepada Pak Harto tentang rencana
pembunuhan para jenderal, sudah cukup sebagai bahan untuk menyeret Pak Harto ke
pengadilan. Paling tidak, Pak Harto diseret sebagai saksi atas perkara Kolonel
Latif, akan tetapi situasi ini politik pada saat itu tidak menguntungkan.
Agar terlihat konstitusional dikeluarkanlah ketetapan MPRS
Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan pencabutan kembali kekuasaan pemerintah
Negara dari tangan Presiden Soekarno, dengan Ketetapan MPRS itu juga pemegang
Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 diangkat menjadi pejabat presiden yaitu
Jenderal Soeharto. Dengan begitu Soekarno pun terjungkal dari kursi
kekuasaannya. Soekarno disebut-sebut sebagai presiden pendukung komunis
gara-gara konsep nasakomnya. Era Soeharto pun dimulai.
Sebagai jenderal senior DR A. H. Nasution tentu saja setuju
dengan pembubaran PKI pada mulanya, Karena beliau adalah orang yang paling
keras menentang PKI. Hanya saja untuk menguasai keadaan sudah tidak mungkin
lagi karena beliau terpukul atas gugurnya putri kandungnya yang bungsu Ade Irma
Suryani Nasution dan ajudan beliau yang setia Lettu Piere Tendean. Tetapi
beliau sangat tidak setuju penghujatan pemerintah yang terlalu berlebihan
terhadap Angkatan Udara sebagai pihak yang terlibat untuk tempat latihan di Lubang
Buaya Jakarta. Selanjutnya dalam beberapa kali pemilihan umum Pak Harto
dipertahankan menjadi Presiden yaitu dengan ketetapan sebagai berikut :
1.
Tap MPR No IX/MPR/1973
Hasil Pemilu 1971
2.
Tap MPR No X/MPR/1978
Hasil Pemilu 1977
3.
Tap MPR No VI/MPR/1983
Hasil Pemilu 1982
4.
Tap MPR No V/MPR/1988
Hasil Pemilu 1987
5.
Tap MPR No IV/MPR/1993
Hasil Pemilu 1992
Strateginya adalah dengan menunjuk para anggota MPR khusus
untuk utusan daerah dan utusan golongan, yaitu para Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I para Panglima Komando Daerah Militer, para Rektor Perguruan Tinggi
Negeri, para Menteri Kabinet, para Istri dan Anak Menteri untuk duduk di
Lembaga Konstitusi ini ( yang sudah barang tentu dekat dengan beliau ) sehingga
setiap pemilihan umum beliau diangkat menjadi presiden bahkan dengan kebulatan
tekad. Keberadaan Golkar yang merupakan perpanjangan tangan dari ABRI diperkuat
dengan masuknya tanpa pilihan para Pegawai Negeri Sipil, Ibu-Ibu Dharma Wanita,
Ibu-Ibu Dharma Pertiwi dan Keluarganya de dalam Golkar yang berlambang pohon
beringin ini membuat Pak Harto menjadi penguasa yang sulit untuk digulingkan
dari kursi kekuasaannya.
Gaya kepemimpinan Soeharto cukup kalem, dia selalu
kelihatan tersenyum meski dia menghadapi suatu masalah sekalipun. Pembawaannya
tenang, kelihatan ramah jadinya. Ciri khasnya pun senyumannya itu. Ketika
berhadapan dengan lawan-lawan politiknya pun dia selalu tersenyum. Saat
peristiwa Malari pun, dia tersenyum. Namun di balik senyuman itu ternyata
menyimpan sejuta makna dan misteri. Di balik senyumannya itu, Soeharo
memerintah dengan tangan besi. Siapa yang mengganggu pemerintahannya akan
dibungkam. Pada masa Soeharto lah banyak kasus orang hilang dan petrus atau
penembak misterius. Jangan coba-coba berkata dan menulis sembarangan tentang
pemerintahannya kalau tak mau dibui. Semua sudah diatur dalam undang-undang
subversif. Kalau ada yang melanggar undang-undang ini, jangan harap bisa
menghirup udara bebas. Pers dibungkam karena dianggap dapat meresahkan
masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional. Media-media besar nasional
pernah jadi korbannya, termasuk Kompas. Andai kita masih hidup di eranya
Soeharto, media blogging seperti Kompasiana pun tak bakal bisa hidup.
Demikianlah gaya kepemimpinan Soeharto untuk mencegah instabilitas di
negerinya.
Meski cara kepemimpinan soeharto merupakan neraka bagi para
aktivis atau lawan-lawan politiknya karena pada era kepemimpinan Soeharto jauh
sekali dari kata Demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa”
atau “government or rule by the people”, namun Soeharto menjadi berkah
bagi rakyat kecil. Bagi rakyat kecil, era Soeharto merupakan era terbaik karena
sembilan kebutuhan pokok yang mereka butuhkan sangat terjangkau. Harga beras
murah, minyak tanah juga, bahkan harga cabai tak sampai semahal sekarang.
Keamanan buat mereka pun terjamin. Yang paling membanggakan lagi, di era
Soeharto, Indonesia menjadi negara paling berpengaruh dan disegani di Asia
Tenggara. Tak ada negara ASEAN yang berani menyinggung Indonesia seperti yang
dilakukan oleh Malaysia sekarang. Selama 32 tahun kita berjalan seperti itu.
Namun, 1 mei tahun 1998 semuanya berubah, pada bulan Mei di tahun itu Soeharto
terpaksa mengundurkan diri. Tak ada lagi yang mendukungnya, semua berbalik
memusuhinya. Krisis ekonomi lah yang mendalanginya. Pondasi perekonomian yang
dirancang ternyata tak membuat sistem perekonomian Indonesia kuat. Rupiah pun
terpuruk hingga berkali-kali lipat, dan hutang pun jadi menumpuk. Tak hanya
itu, korupsi ternyata hidup beranak pinak di era pemerintahan Soeharto. Demo dan
kerusuhan pun terjadi di mana-mana hingga memaksa Soeharto turun dari tahtanya.
Era reformasi pun menjelang.
Di era reformasi, Presiden Indonesia pun silih berganti
mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, dan yang terakhir sekaligus masih menjabat
sampai hari ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono,
kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi benar-benar terjamin. Semua
orang bebas mengaspirasikan pendapatnya kepada para pemimpin baik melalui media
massa dan elektronik atau melaui demonstrasi. Namun kebobrokan mental para
birokrat bawaan era Soeharto tak bisa hilang begitu saja. Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) masih hidup dan tumbuh subur. Padahal, ketika era reformasi
datang, semua bentuk kebobrokan tersebut diharap bisa lenyap. Nyatanya
tidak juga. Walau kepemimpinan reformasi silih berganti selama lebih dari 10
tahun ini, tetap tak membuat Indonesia keluar dari keterpurukan itu. Tadinya,
saat Susilo diangkat menjadi presiden pilihan rakyat, banyak yang berharap
semua itu berubah. Namun, harapan tinggal harapan, sosok Susilo yang diharapkan
mengubah semua kebobrokan itu tak bisa berbuat banyak. Banyak nya kasus – kasus
korupsi yang belum terselesaikan mulai dari BLBI, Century, Gayus Tambunan,
Nazarudin, dll. serta pelanggaran HAM yang terjadi baru-baru ini di Mesuji dan
Bima tahun 2011 . serta Gaya kepemimpinan SBY yang lebih kuat pada pencitraan.
Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dituding banyak lawan politiknya cuma
sekadar lipsing. Semuanya tak seindah yang dibayangkan, semua tak seindah warna
aslinya, kekecewaan makin menumpuk, hingga menunggu bom waktu saja. Sehingga
menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah SBY mampu mewujudkan Tujuan dan
cita-cita Negara ini ? dengan Gaya Kepemimpinannya yang lebih banyak kepada
Pencitraan daripada tindakan yang nyata untuk untuk mensejahterakan,
mencerdaskan dan melindungi segenap tumpah darah warga negaranya sepertinya tujuan
Negara hanya menjadi sesuatu yang utopis saja.
Dari penjabaran tentang masa kepemimpinan yang
ada diatas. Ada baiknya kita telisik beberapa sifat nabi yang membawa pada
teladan kepemimpinan:
- Shidiq Artinya jujur, benar,
berintegrasi tinggi, dan terjaga dari kesalahan karena segala tindak
tanduk sikap dan perbuatan dari pemimpin dilandasi kebenaran. Nabi
Muhammad menjalankan seluruh aktivitas hidupnya bersadarkan perintah Allah
yang merupakan sumber kebenaran. Bagi pemimpin sekarang, jalan terbaik
untuk mendekati kualitas kepemimpinan nabi dapat dilakukan hanya dengan
menggunakan acuan yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadist nabi.
- Amanah Artinya dapat dipercaya,
memiliki legitimasi dan akuntabel. Semenjak kecil gelar Al-Amin sudah
melekat di pribadi Nabi Muhammad. Bahkan kaum kafir qurais juga mengakui
kejujuran dan sifat amanah nabi. Coba bayangkan apabila pemimpin tidak
dapat dipercaya, akan sulit sekali untuk bisa menjalankan kebijakan yang
ditetapkan pemimpin tersebut.
- Fathonah Artinya
cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional. Pemimpin harus cerdas sebagai
syarat dalam pengantisipasi segala permasalahan yang mungkin akan muncul
dan mempunyai dan yang paling penting adalah cerdas dalam artian mampu
membuat solusi atas berbagai permasalahan yang ada melalui berbagai sudut
pandang.
- Tablig Artinya
senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa
yang wajib disampaikan, dan komunikatif. Pemimpin harus bisa menyampaikan dan mensosialisasikan
segala kebijakan yang diambil. Bagaimanapun juga masyarakat yang
dipimpinnya harus mengerti dan memahami bagaimana pentingnya suatu
kebijakan dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat. Proses ini juga
memberikan kesempatan bagi masyarakat yang telah mengerti dan memahami
kebijakan untuk bisa berperan aktif dalam mencapai tujuan terkait
kebijakan yang diambil.
Dalam bentuk yang paling sederhana dan skala
yang paling kecil, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jadi teladan
kepemimpinan nabi bisa menjadi inspirasi untuk kita amalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Pada skala yang lebih luas seperti presiden, sifat dasar ini
tentunya akan lebih memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas pula
terutama dalam mewujudkan cita – cita dan tujuan Negara yang tertuang dalam
pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
2.2 Birokrasi di
Indonesia : antara Ide dan Realita
2.2.1
Pengertian Birokrasi
Birokrasi merupakan sebuah fenomena kehidupan yang mulai
muncul abad 18 – 19 di mana seorang manusia sejak lahir sampai meninggal
walaupun hidup di jaman modern seperti saat ini akan selalu berurusan dengan birokrasi. Birokrasi merupakan sesuatu
yang kompleks, dimana setiap orang tidak persis sama memaknainya. Khususnya di
Indonesia, birokrasi identik dengan birokrasi pemerintah. Asal kata birokrasi
atau dalam bahasa inggris disebut Bureaucracy
mulai diperkenalkan oleh filosof Prancis Baron de Grimm dan Vincent
de Gournay adalah Boureau yaitu
meja tulis dimana para pejabat (saat itu) bekerja dibelakangnya (Albrow, 1970)
dan Cratein berarti kekuasaan. Dari pengertian tersebut, birokrasi
berarti kekuasaan berada pada orang – orang yang dibelakang meja.
Salah seorang pemikir pertama mengenai konsep birokrasi
adalah Max Weber. Gagasannya tentang birokrasi rasional dipercaya oleh sebagian
besar ahli politik – pemerintahan sangat mempengaruhi pembentukan semua organ
birokrasi di hamper setiap Negara saat ini, baik yang demokratis maupun
otoriter. Pada dasarnya Weber (1992) berpendapat bahwa birokrasi rasional
adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas dasar kaidah – kaidah
otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun
otoritas kharismatik. Menurutnya ciri-ciri utama dari struktur birokrasi
didalam tipe idealnya adalah sebagai berikut :
1.
Kegiatan – kegiatan
reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi dalam
cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Pembagian kerja yang jelas ini
memungkinkan untuk mengerjakan tenaga-tenaga spesialisasi dalam tiap jabatan,
dan membuat mereka bertanggung jawab untuk pelaksanaan efektif dari tugasnya
tersebut.
2.
Pengorganisasian
jabatan – jabatan mengikuti prinsip hierarki, yaitu jabatan yang lebih rendah
berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari pada jabatan yang lebih atas.
Setiap pejabat di dalam hierarki administratif ini dapat diminta pertanggungan
jawabnya oleh atasannya mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang dibawah
pimpinannya itu. Supaya ia dapat memimpin bawahan, seseorang mempunyai
kewenangan atas bawahan tersebut, yaitu mempunyai hak untuk mengeluarkan petunjuk/intruksi dan bahwa atas
kewenangan itu, bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan
tersebut hanyalah terbatas kepada pemberian petunjuk/intruksi yang relevan
dengan tugas atau fungsi jabatan. Penggunaan dari prerogative status untuk
memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak dibenarkan karena tidak sesuai
dengan pelaksaan kewenangan birokratis yang sah ( legitimate )
3.
Operasi – operasi atau
pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu sistim peraturan yang konsisten
dan pelaksanaan dari pada peraturan – peraturan ini terhadap kejadian atau
kasus-kasus tertentu. Sistim dari standar ataupun peraturan-peraturan ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan
kegiatan, tanpa melihat jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk
kordinasi berbagai tugas. Peraturan atau tata cara tersebut juga memberikan
pembatasan wilayah tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan antar
mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan diri kepada peraturan atau
standar-standar tersebut diapak untuk jabatan-jabatan tinggi ada standar untuk
menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya.
4.
Pejabat yang ideal
dalam sesuatu birokrasi melaksanakan kewajiban didalam semangat formil non
pribadi. Artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Supaya
standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan tanpa
gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non
pribadi harus berlaku didalam suatu organisasi dan terutama kepada pelanggan.
Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi didalam urusan jabatan
berarti suatu pra kondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi.
Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan mereka yang dilayani. Dengan
sikap pelayanan yang sama berarti juga membina demokrasi dalam administrasi.
5.
Penempatan kerja di
dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi
terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Di dalam suatu organisasi birokrasi,
penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karir. Ada sistem promosi,
entah atas dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Kebijaksanaan
kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi
dan tumbuhnya jiwa korps diantara para anggotanya. Identifikasi anggota organisasi
dengan organisasinya merangsang mereka mengusahakan tujuan dan kepentingan
organisasi secara lebih baik.
6.
Pengalaman menunjukkan
bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari
penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tertinggi. Mekanisme
birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi
yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi memecahkan
masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi dan
bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk inilah maka
diperkembangkan spesialisasi dan pengadaan serta penempatan kerja pegawai atas
dasar kualifikasi teknis.
Birokrasi ada karena adanya Negara. Di satu sisi birokrasi
menolong masyarakat mencapai tujuan-tujuan hidupnya, namun pada sisi lain
birokrasi dapat menyengsarakan, menindas, mengeksploitir, dan bahkan dapat
mendorong masyarakat menuju jurang kehancuran. Dengan kata lain, hitam-putihnya
Negara tergantung pada bagaimana birokrasi di Negara tersebut. Apabila
birokrasi mempunyai kinerja yang baik, inovatif, kreatif dan produktif, maka
akan baiklah Negara dan masyarakatnya. Sebaliknya bila birokrasi bobrok, korup,
bebal, dan tidak produktif, maka akan bobrok dan hancurlah Negara tersebut.
Pada prakteknya di Indonesia, birokrasi dimaknai oleh orang awam sebagai suatu
prosedur yang berbelit-belit, kaku, lamban, dan kentalnya nepotisme. Sehingga
walaupun birokrasi merupakan institusi yang selalu dan berperan penting dalam
kehidupan masyarakat, pada saat yang bersamaan merupakann institusi yang paling
dibenci oleh sebagian besar masyarakat.
2.2.2 Birokrasi di Indonesia
Bila melihat sejarah terutama saat orde baru, birokrasi
pemerintah merupakan bureaucratic polity
( karl D. Jakson ). Birokrasi yang bersumber pada akumulasi kekuasaan Negara
dan mengesampingkan peran masyarakat
dari panggung politik. Negara sangat berkuasa sehingga terbentuklah suatu
prilaku birokrasi yang serba sungkan dan tertutup. Dalam hal ini budaya
feodalistik masih terasa. Birokrasi semacam ini mendasarkann pada hubungan
bapak buah dan anak buah (patron client)
sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan
atasan. Ini menimbulkan dampak bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya
patronasi berdampak pada prilaku ewuh
pakewuh ( sungkan ) yang berlebihan terhadap atasan, loyalitas terhadap
atasan dan bukan kepada organisasi. Patologi (penyakit) birokrasi lainnya yaitu
belum berorientasi pada prestasi, keinginan untuk melayani masih rendah,
teknologi tidak digunakan secara tepat guna, budaya ekonomi biaya tinggi, dan
jumlah pegawai banyak ( kuantitas ) namun kurang berkompeten ( kualitas ). Di
samping itu, pada masa lalu birokrasi menjadi sarang “penyamun” yang melegalkan
praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dari survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk (2002)
terlihat bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas,
kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas birokrasi
kita masih sangat rendah. Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto, dkk
(2002), menurut The World Competitiveness
Yearbook tahun 1999, tingkat indeks Competitiveness
birokrasi kita berada pada urutan terendah dari 100 negara lain di dunia. Dari
hasil penelitian Dwiyanto terbukti bahwa dari segi orientasi pelayanan,
birokrasi kita masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaganya
untuk menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Sehingga tidak jarang ada yang
mengatakan bahwa jika ingin menguji kesabaran,
cobalah mengurus perijinan di pemerintah. Hal ini timbul karena proses yang
dihadapi dalam melakukan suatu urusan di pemerintah adalah berbelit-belit,
tidak transparan, pelayanan tidak ramah, sombong dan cuek, “mata duitan”, serta
lebih mengutamakan formalitas dan rutinitas dari pada hasil kerja yang
esensial. Secara global, kesan negatif yang di timbulkan birokrasi adalah
karena birokrasi tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat
sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Konsep ini dikeknal dengan traditional bureaucracy atau old model
bureaucracy.
Karakteristik birokrasi kita sangat lah kaku, karena
dibentuk atas dasar peraturan perundangan yang proses perubahannya tidak mudah
dan sederhana, lembaga pemerintah sering tidak dapat merespon dengan cepat
perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Peraturan perundangan merupakan
produk sebuah proses politik yang kompleks serta melibatkan stakeholders dengan
kepentingan yang seringkali saling
bertentangan satu sama lain. Mengubah peraturan perundingan seringkali sulit
dilakukan karena memerlukan consensus politik yang tidak mudah diperoleh.
Akibatnya, suatu instansi pemerintah yang keberadaan dan operasionalnya diatur
suatu peraturan perundangann sering mengalami kesulitan dalam merespon
perubahan yang terjadi dengan cepat. Lebih dari itu peraturan perundangan di
Indonesia cenderung lebih merinci dalam mengatur prilaku organisasi atau
birokrasi pemerintah, hal ini mungkin karena pemerintah merasa khawatir jika
terjadi penyalahguanaan kewenangan oleh pengelola birokrasi, namun dengan
keberadaan peraturan yang sangat terperinci membuat birokrasi pemerintah
kehilangan fleksibilitas dalam menjawab dinamika lingkungan.
Kondisi sebagaimana disebutkan diatas menjadi salah satu
alasan yang menuntut agar dilakukan reformasi pada tataran birokrasi. Inti dari
latar belakang yang mengharuskan dilakukannya reformasi birokrasi adalah :
1.
Praktek Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini ;
2.
Tingkat kualitas
pelayanan publik yang belum mampu optimal dari birokrasi pemerintahan ;
3.
Tingkat transparansi
dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah ;
4.
Tingkat disiplin dan
etos kerja pegawai yang masih rendah.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa reformasi birokrasi menjadi
sebuah keharusan. Pertama, sebagai
keharusan politik. Spirit penyelenggaraan Negara pasca orde baru adalah
pengabdian kepada kedaulatan rakyat berbeda dengan zaman orde baru dimana
birokrat sebagai abdi Negara yang diorientasikan kepada kepentingan politik
semata. Mindset lama yang berpandangan bahwa birokrat harus dilayani dan
dihormati publik kini harus dirombak menjadi melayani publik, karena mereka
bekerja dengan dibayar dari dana pajak yang dipungut dari rakyat. Kedua, sebagai keharusan ekonomi. Ruh
reformasi adalah komitmen untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. KKN
membuat ekonomi Negara rusak, bangkrut, inefisien dan high cost. Ketiga, tuntutan globalisasi. Interaksi
global yang makin terbuka dan intensif mensyaratkan performa birokrasi yang
professional, cekatan, efisien, dan efektif agar investor baik domestik maupun
asing akan bersemangat dalam mengembangkan usaha bila berhubungan dengan
birokrasi yang profesional, begitupun sebaliknya.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk
melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelengaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek – aspek :
1.
Kelembagaan (
organisasi )
2.
Ketatalaksanaan (
business process )
3.
Sumber daya manusia
aparatur
Penataan
ulang dan pembaharuan yang dilakukan adalah dalam rangka mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik ( good governance ) dan juga pemerintahan yang bersih (
clean governance), yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan
transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi dalam
memberikan pelayananan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan
pertanggungjawaban terhadap publik ( public accountability ) secara teratur.
Atau dengan kata lain, reformasi birokrasi merupakan langkah strategis untuk
membangun aparatur Negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional serta berperan
penting dalam mewujudkan cita – cita dan tujuan Negara.
2.2.3 Reformasi dari
bawah
Upaya
dalam mereformasi birokrasi dengan berbagai pendekatan teoritis/konseptual
seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar
(savas, 1987 ; World Bank, 1996) ; reinventing government (david Osborne dan
Ted Gaebler, 1992 ) ; knowledge – creating organization ( Ikujiro Nonaka dan
Hirotaka Takeuchi, 1995 ) ; learning organization sebagai disiplin ke – 5 (
Peter Senge, 1995) ; banishing beuruecracy ( david Osborne dan Peter Plastrik,
1996) ; dan lain lain telah dilakukan, namun masih belum maksimal. Ini
mengisyaratkan kita untuk mencari metode reformasi yang benar – benar efektif
dan mujarab untuk membangun sosok birokrasi yang benar – benar sehat, bersih,
professional, sekaligus demokrasi dan berkinerja tinggi.
Guru Besar
Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamadiayah ( UM ) Malang, Prof Mas’ud,
menyarankan agar pembenahan/reformasi birokrasi terutama pembenahan sikap
birokrat dimulai dari level bawah. Ada 4 alasan mengapa pembenahan dimulai dari
level bawah : Pertama, Pilihan bentuk
dan prioritas reformasi bisa fleksibel menurut variasi kondisi daerah karena
pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah yang merupakan
struktur terbawah dalam pemerintahan yang memiliki ciri dan karakteristik
tersendiri antara satu daerah dengan daerah yang lain. Kedua, jika reformasi birokrasi dilakukan di tingkat daerah maka
biaya yang dibutuhkan akan lebih bisa dikalkulasi karena perubahan masih
dilakukan dalam skala kecil dengan waktu yang tidak terlalu lama apabila
dibandingkan dengan reformasi yang dimulai dari atas. Ketiga, posisi kabupaten/kota sebagai unit pemerintahan dasar bisa
menjadi fundamen bagi perubahan di level atas ( birokrasi nasional ). Keempat, reformasi ditingkat bawah jauh
lebih dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan
masyarakat yang selalu berubah. Dalam kerangka otonomi daerah, selain berfungsi
sebagai unit langsung pelayan publik, letak birokrasi daerah juga berjarak
lebih dekat dengan profil kebutuhan nyata masyarakat.
2.2.4 Membangun Budaya
Birokrasi Pemerintah
Membangun
budaya birokrasi pemerintah idealnya adalah membangun sikap dan perilaku sistem
yang kemudian diikuti secara konsisten oleh pelakunya untuk menciptakan tata
pemerintahan yang baik. Birokrasi pemerintah sudah seharusnya memiliki sifat
yang transparan dan akuntabilitas. Dengan adanya budaya transparan maka
kebiasaan terbukanya control dan akuntabilitas public oleh sistem birokrasi
pemerintah akan menjadi budaya yang demokratis. Peranan rakyat baik melalui
lembaga perwakilan maupun rakyat secara terbuka bisa dilakukan untuk menjamin
budaya birokrasi pemerintah yang amanah. Sistem birokrasi pemerintah dengan
prinsip tata pemerintahan yang demokratis sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Bung Hatta adalah tata pemerintahan yang berdaulat rakyatnya bukannya tuannya.
Sistem birokrasi yang transparan bagi rakyatnya dan mengetengahkan
desentralisasi ke daerah, professional, dan ditegakkan hukum secara konsekuen
tanpa adanya perbedaan.
Bab III
Kesimpulan
Dalam bentuk yang paling sederhana dan skala
yang paling kecil, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jadi teladan
kepemimpinan nabi yaitu sidiq, amanah, fathonah dan tabliq bisa menjadi
inspirasi untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada skala yang lebih
luas seperti presiden, sifat dasar ini tentunya akan lebih memberi manfaat bagi
masyarakat yang lebih luas pula terutama dalam mewujudkan cita – cita dan
tujuan negara.
Sebagai
mana kita ketahui bahwa sebuah perubahan akan kuat bertahan apabila memiliki
dasar yang kuat, membangun budaya kepemimpinan dalam birokrasi tidak cukup
hanya membangun elit-elit yang ada dalam birokrasi. Bekerjanya birokrasi akan
sangat bergantung pada seluruh aparatur yang berada di berbagai tingkatan.
Dengan demikian, pola pengembangan kepemimpinan harus berangkat dari asumsi
bahwa setiap orang adalah pemimpin. Untuk menciptakan pemimpin yang baik, harus
ada proses seleksi SDM yang benar sehingga terpilih yang betul-betul
berkualitas. Jika semua daerah telah berhasil melaksanakan reformasi birokrasi,
maka berulah dapat dikatakan Negara tersebut telah berhasil dalam
penyelenggaraan birokrasi, penyelenggaraan birokrasi berhasil maka akan semakin
mudah kita mencapai cita – cita dan tujuan Negara yang kita impikan selama
lebih dari setengah abad Negara ini merdeka.
Daftar Pustaka
Inu
Kencana Syafiie dan Azhari (2009), Sistem
Politik Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama
Moeljono,
Djokosantoso (2008), More About Beyond
Leadership – 12 Konsep Kepemimpinan, Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Tjiharjadi,
Semuil (2007), To Be A Great Leader, Yogyakarta
: Penerbit ANDI
Inu
Kencana Syafiie dan Andi Azikin (2008), Perbandingan
Pemerintahan, Bandung : PT Refika Aditama
Budiardjo,
M. (2006), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta
: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Thoha,
Miftah (2003), Birokrasi & Politik di
Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
------------
(2009), Governance Reform di Indonesia :
Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang
Profesional, Yogyakarta : Penerbit Gava Media dan MAP – UGM
------------
( 2006 ), Mewujudkan Good Governance
Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
------------
( 2009 ), Membumikan Konsep Reformasi
Birokrasi, Samarinda : LAN Samarinda
Center
for information Analysis (1999), Gerakan
30 September ; Antar Fakta dan Rekayasa, Yogyakarta : Penerbit Media
Pressindo
No comments:
Post a Comment