Friday, January 27, 2012

KEPEMIMPINAN DAN BIROKRASI DI INDONESIA : ANTARA CITA DAN REALITA


Bab I
Pendahuluan
1.1  Latar belakang masalah
Indoenesia adalah satu bangsa dan Negara yang secara politis, resmi merdeka sejak tanggal 17 agustus 1945. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, di peta dunia kepulauan Indonesia tampak sangat cantik karena dari barat sampai ke timur berjejer pulau – pulau dengan komposisi dan kontruksi yang indah, mulai dari pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, pulau – pulau Nusa Tenggara, pulau – pulau Maluku dan Irian Jaya. Di pulau – pulau tersebut berdiam penduduk yang bervariasi bahasa daerahnya, seni budayanya, agama kepercayaannya, adat istiadatnya, dan kebiasaannya. Bahkan bervariasi pula flora dan faunanya yang indah, mulai dari anggrek kribo sampai dengan beringin putih atau mulai dari burung cendrawasih sampai dengan badak bercula serta komodo yang tidak dijumpai di manapun di muka bumi ini selain Indonesia. Itulah sebabnya kepulauan Nusantara ini disebut juga bagaikan ratna mutu manikam.
Secara geografis kepulauan Indonesia ini strategis karena dilalui khatulistiwa, sehingga siang dan malam diterima penduduk seimbang. Diapit pula oleh dua benua yaitu Australia dan Asia, serta dua lautan besar yaitu Pasifik dan Hindia, sehingga akan memajukan perdagangan. Jadi kehadiran Indonesia di mata dunia memang bagaikan zambrud di Timur Jauh.
Selama lebih dari setengah abad merdeka, bangsa Indonesia baru memiliki 6 presiden, selain daripada itu juga pernah sewaktu Indonesia dalam kondisi darurat dipimpin oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara. Di Indonesia ada dua presiden yang paling memiliki peran besar dalam proses pembangunan yang masa kepemimpinannya memiliki waktu yang cukup panjang yaitu Soekarno dan Soeharto.
Soekarno dan Soeharto yang bagaimanapun pernah dianggap sebagai bapak bangsa, berlaku tirani pada akhir pemerintahannya, Soekarno sempat dinyatakan sebagai presiden seumur hidup sehingga berkuasa selama dua puluh satu tahun pada era Orde Lama, sedangkan Soeharto dengan rekayasa politiknya dalam pemilihan umum sebanyak tujuh kali berkuasa selama tiga puluh dua tahun berturut – turut pada era Orde Baru.
Ketiranian ini bukan berangkat dari Pancasila karena falsafah ini sudah berjuang menyeimbangkan sila – silanya, namun sebenarnya berasal dari keberadaan UUD 1945, yang membesarkan peran eksekutif ketimbang legislatif dan lembaga tinggi lain termasuk lembaga tertinggi yaitu MPR. Mengapa para pendiri Republik Indonesia ini membesarkan peran eksekutif  adalah karena bermaksud untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah – tengah kebhinekaan suku, agama, pulau, budaya dan berbagai bahasa etnis kedaerahan yang ada di Indonesia.
Era Pasca Soeharto atau Era Reformasi di Indonesia dimulai pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibie. Krisis moneter yang menyebabkan ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu kerusuhan mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto akibat salah urus pada masa orde baru, sehingga menimbulkan maraknya kerusuhan dan disintegerasi hampir seluruh wilayah Indonesia. Segera setelah memperoleh kekuasaan Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pada era pemerintahannya yang singkat ia berhasil memberikan landasan kokoh bagi Indonesia, pada eranya dilahirkan UU Anti Monopoli atau UU Persaingan Sehat, perubahan UU Partai Politik dan yang paling penting adalah UU otonomi daerah. Melalui penerapan UU otonomi daerah inilah gejolak disintergrasi yang diwarisi sejak era Orde Baru berhasil diredam dan akhirnya dituntaskan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa adanya UU otonomi daerah bisa dipastikan Indonesia akan mengalami nasib sama seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.
Tujuan negara Republik Indonesia ada empat, yaitu seperti yang disebutkan pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Keempat tujuan negara itu adalah:

1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.      Memajukan kesejahteraan umum
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa
4.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Melihat kondisi yang terjadi hari ini dimana banyak terjadi berbagai permasalahan baik masalah ekonomi, politik, sosial – budaya, idiologi, pemerataan pembangunan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan menjadi tantangan bagi pemimpin kita untuk bisa menjawab dan memecahkan permasalahan tersebut. Apakah gaya kepemimpinan dan birokrasi kita bisa mewujudkan apa yang selama ini menjadi cita – cita bangsa ini.
1.2  Rumusan masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan presiden dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4 ?
2.      Bagaimana peran Birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4 ?
1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui apakah ada pengaruh gaya kepemimpinan presiden dalam mewujudkan tujuan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
2.      Untuk mengetahui apakah ada peran birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
1.4  Manfaat
Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang pengaruh gaya kepemimpinan dan peran birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan Untuk mengetahui apakah ada peran birokrasi di Indonesia dalam mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4..

Bab II
Pembahasan
2.1 Pengaruh Gaya Kepemimpinan Presiden Republik Indonesia dalam mewujudkan tujuan Negara. 
Sebuah organisasi harus memiliki visi, misi dan strategi. Dengan kata lain, organisasi harus mencapai tujuan. Alasannya sederhana, organisasi adalah sebuah institusi yang menarik manusia – manusia agar bersedia bekerjasama untuk mencapai tujuan yang sama, tujuan bersama, dan tujuan masing – masing. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah suatu kelompok persekutuan, alat organisasi kedaerahan, dan kewilayahan yang memiliki sistem politik yang melembaga dari rakyat, keluarga, desa, dan pemerintah yang lebih tinggi terdiri dari orang – orang yang kuat memiliki monopoli, kewibawaan, daulat, hukum, dan kepemimpinan yang bersifat memaksa sehingga pada akhirnya memperoleh keabsahan dari luar dan dalam negeri. Selanjutnya organisasi ini memiliki kewenangan untuk membuat rakyatnya tentram, aman, teratur, terkendali di satu pihak dan di lain pihak melayani kesejahteraan dalam rangka mewujudkan cita – cita bersama.
Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Presiden RI, baru enam kali berganti sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu :
1.      Dr. (HC) Ir. Soekarno (1945-1966) ;
2.      Jend. TNI (Purn.) Soeharto (1966-1998) ;
3.      Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie (1998-1999) ;
4.      K. H. Abdurahman Wahid (1999-2001) ;
5.      Dr. (HC) Megawati Soekarno Putri (2001-2004) ;
6.      Jend. TNI (Purn.) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, MA (2004 – sekarang )
Masing – masing presiden memiliki gaya kepemimpinannya sendiri, disini yang paling menyorot perhatian adalah gaya kepemimpinan presiden Soekarno, Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Gaya kepemimpinan erat hubungannya dengan kematangan dalam bidang pekerjaan maupun kematangan dalam bidang psikologis, maka dalam memimpin seseorang akan mempunyai gaya yang berbeda – beda dengan seorang pemimpin lainnya. Gaya kepemimpinan seseorang bukanlah semata – mata bergantung pada watak seorang pemimpin saja, tetapi ada kecenderungan dari seorang pemimpin untuk menggunakan gaya kepemimpinan yang berbeda dalam menghadapi bawahan yang beraneka ragam tingkat kedewasaannya. Kemampuan seorang pemimpin untuk mengerti dan mendalami kemampuan dan kedewasaan bawahannya sangat berpengaruh pada gaya yang dipilihnya dalam memimpin dan pada gilirannya akan memengaruhi tercapainya tujuan yang dikehendaki.
            Kepemimpinan harus meliputi beberapa hal penting sebagai berikut :
1.      Seni dan ilmu – yang dinamis dan bersifat situasional, serta bisa dipelajari
2.      Kemampuan ( pengetahuan dan keterampilan ) memengaruhi orang lain
3.      Keinginan memengaruhi orang lain
4.      Kemampuan menggerakkan orang lain berdasarkan cara – cara yang disukai
5.      Membantu orang untuk menemukan nilai dan potensi mereka dengan memberikan inspirasi sehingga mereka memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dan memenmukannya dalam diri mereka.
Kepemimpinan lahir sebagai suatu konsekuensi logis dari perilaku dan budaya manusia yang terlahir sebagai individu yang memiliki ketergantungan sosial ( zoon politicon ) yang sangat tinggi dalam memenuhi berbagai kebutuhan – nya ( homo sapiens ). Abrahan Maslow mengidentifikasi adanya 5 tingkat kebutuhan manusia :
1.      Kebutuhan biologis
2.      Kebutuhan akan rasa aman
3.      Kebutuhan untuk diterima dan dihormati oleh orang lain
4.      Kebutuhan untuk memiliki citra yang baik
5.      Kebutuhan untuk menunjukkan prestasi yang baik.
Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia kemudian menyusun organisasi dari yang terkecil sampai yang terbesar sebagai media pemenuhan kebutuhan serta menjaga berbagai kepentingan. Awalnya hanyalah dari sebuah kelompok yang berkembang hingga menjadi suatu bangsa. Dalam konteks inilah, sebagaimana dikatakan Plato dalam filsafat Negara, lahir istilah kntrak sosial dan pemimpin atau kepemimpinan.
Soekarno, Soeharto dan Susilo. Ketiga mantan presiden ini menjadi topik pembicaraan yang hangat di masa pemerintahannya. Mereka memiliki kesamaan dalam lamanya berkuasa di negeri ini. Bandingkan dengan Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Kekuasaan ketiga mantan presiden itu tak lebih dari seumur jagung. Untuk mempertahankan status quo-nya, Soekarno pernah mengangkat dirinya menjadi presiden seumur hidup. Demikian pula dengan Soeharto, biar kekuasaanya tetap langgeng, dia menyulap sistem multipartai menjadi dua partai dan satu golongan karya, dengan Golkar sebagai kontestan yang selalu menang pemilu di setiap periodenya. Soeharto pun menjadi presiden terlama di Indonesia, sekitar 32 tahun. Bagaimana dengan Susilo? Beliau sudah terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya. Apabila undang-undang tentang masa jabatan presiden tak diubah, tentu Susilo bisa mengikuti jejak kedua koleganya itu. Walau ketiga presiden Indonesia tersebut memiliki kesamaan, perbedaannya pun banyak pula, terutama dalam hal gaya pemerintahan atau gaya kepemimpinan.
Soekarno selama berkuasa di negeri ini menjadi pemimpin yang sangat tegas, tidak bisa di intervensi oleh siapa pun, termasuk Amerika Serikat sebagai negara super power. Bahkan ia bermusuhan dengan negara-negara barat karena terlalu mengintervensi urusan pemerintahannya. Soekarno pun berteriak, “Go to hell with your aid”. Demikian kata Soekarno suatu ketika. Bahkan Soekarno pun pernah menyatakan, “Ganyang Malaysia” gara-gara keinginan malaysia untuk mengggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak, serta tanah Kalimantan dalam Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Bisakah pemimpin sekarang berkata seperti itu? Soekarno pun punya idealisme tinggi tentang negara Indonesia yang pernah dia proklamirkan ini. Dia ingin menjadikan negeri ini menjadi negeri mandiri tanpa didikte oleh siapapun.
Pada puncak kejayaan Orde Lama, dikenal berbagai ‘yel – yel’ perjuangan yang membangkitkan semangat. Diantaranya yang paling popular adalah Nasakom ( Nasional, Agama, dan Komunis ), Jas Merah ( Jangan Lupakan Sejarah ), Tavip ( Tahun Vivere Veri Coloso ) dan lain – lain. Dalam menghayati Pancasila, pandangan hidup tersebut diperas menjadi tiga unsure penting yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini masih dapat diperas menjadi satu untuk utama yaitu Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom. Dengan adanya pengertian keberadaan Nasakom maka Partai Komunis mendapat posisi yang dominan, karena merupakan salah satu dari tiga unsure utama disamping partai – partai agama yang ada di Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Begitu pentingnya Nasakom sehingga mendapat tempat dalam Peraturan Pememrintahan Daerah, Yaitu UU No. 18 Tahun 1965. Dalam UU tersebut diatas dinyatakan bahwa bagaimana pun keadaan anggota parlemen di daerah, unsur Nasakom harus diperhatikan dalam penunjukan unsur pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Jadi bila di suatu daerah hanya ada seorang tokoh PKI, namun ia harus diikutsertakan sebegai pimpinan DPRD apabila ia menjadi salah satu anggota DPR Daerah tertentu.
Jendral A. H. Nasution sekalipun secara formal masih mendukung Demokrasi Terpimpin, namun semenjak tahun 1963 hubungan beliau dengan Presiden Soekarno mulai renggang. Kedua orang kuat Indonesia ini mulai mempunyai sikap yang bertentangan dalam menghadapi PKI. Soekarno merangkulnya sedangkan Nasution mencurigainya.
Ketika Presiden Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya yang dikonsultasikan kepada dokter Cina dari Beijing, berbagai kelompok mulai gelisah memperhitungkan bagaimana mereka dapat lebih naik ke puncak kekuasaan. Ada dua kelompok penekan Angkatan Darat yang diisukan waktu itu yaitu Dewan Jendral ( yaitu mereka yang diduga akan menggulingkan Soekarno ) dan Dewan Revolusi ( yang sangat setia membela Soekarno ). Meningkatnya suhu politik pada saat itu dikaitkan dengan siapa pengganti Presiden Soekarno jika beliau wafat, karena pemilihan umum sejak tahun 1955 tidak pernah lagi diadakan dan wakil presiden secara resmi tidak pernah ada lagi sejak Bung Hatta mengundurkan diri ( walau pun ada perdana menteri ). Bung Hatta, setelah beliau pamit dan meninggalkan jabatan Wakil Presiden menulis sebagai berikut ini :
“sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil dan akan melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya, serta kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Bertolak belakang dengan realita dalam pemerintahan itu sendiri, karena pada kenyataannya dan dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Apalagi sejak tiga tahun terakhir ini kelihatan benar tindakan-tindakan pemerintah yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar. Presiden yang menurut UUDS 1945 adalah Presiden konstitusional yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diganggu gugat, mengangkat dirinya sendiri menjadi formatir cabinet. Dengan itu ia melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab dan tiada memikul tanggung jawab. Pemerintah yang dibentuk dengan cara yang ganjil tersebut diterima begitu saja oleh parlemen, dengan tiada mengatakan keberatan yang prinsipil, malahan ada yang membela tindakan Presiden itu dengan dalil, yaitu “Keadaan Darurat””.
Hanya ada dua kandidat yang disebut-sebut sebagai presiden waktu itu, yaitu Letjen. A. Yani dan Jenderal A. H. Nasution ( keduanya sangat dibenci oleh PKI ). Setelah berhasi membangkitkan isu-isu antara si kaya dan si miskin kemudian menyebarluaskan program sama rata sama rasa lalu pada puncaknya melakukan pembantaian di Lubang Buaya Jakarta, dengan sasaran utama mereka adalah para Jenderal yang semula paling keras menentang dipersenjatainya angkatan kelima buruh tani, PKI melakukan aksinya. Jenderal A. H. Nasution luput dari pembunuhan ini tetapi perwira Angkatan Darat lainnya yang didatangi pada malam yang sama gugur sebagai kusuma bangsa, mereka adalah sebagai berikut :
1.      Letjen A. Yani
2.      Mayjen M. T Haryono
3.      Mayjen S Parman
4.      Mayjen Suprapto
5.      Brigjen D. I. Panjaitan
6.      Brigjen Sutoyo S.
7.      Lettu Piere Tendean
PKI menuding Dewan Jenderal bekerjasama dengan CIA, pada waktu itu RI sedang dalam kondisi bertentangan dengan kerajaan Malaysia yang dibantu Inggris dan Amerika Serikat, itulah sebabnya Indonesia keluar dari PBB karena muaknya kepada Neo Kolonialisme Imperialisme ( Nekolim ), untuk itu pemerintah harus diselamatkan, demikian Alibi PKI. Gugurnya Letjen A. Yani membuat jabatan Panglima AD menjadi kosong, pada saat itulah Mayjen Soeharto berjuang mengisi kekosongan tersebut yang sebenarnya rekannya Mayjen Pranoto sudah ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno untuk mengisi jabatan tersebut. Soeharto menolak penunjukan tersebut, karena memang sudah mengumumkan dirinya melalui RRI yang direbut sesudah terbunuhnya para jenderal, dengan beliau sebagai penguasa keadaan. Sebagai Panglima Kostrad, Pak Harto tidak tercantum di dalam daftar hitam yang akan di bunuh PKI, bahkan kolonel latif melaporkan bahwa akan melakukan pembunuhan tujuh jenderal besok pagi, tetapi Pak Harto diam saja.
Setelah peristiwa pembunuhan tujuh jenderal yang terjadi di Lubang Buaya Jakarta, Soekarno menyinkir ke Bogor berpisah dengan para pendukungnya. Dalam kondisi seperti inilah yang dimanfaatkan Pak Harto untuk mengkondisikan supaya menjadi pahlawan dengan meminta Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar ) yang sebenarnya setelah keadaan aman dan kekuasaan kembali diserahkan kepada Panglima Tinggi, Bung Karno. Jadi menurut Kolonel CHK. Sianturi, SH Oditur Militer yang bertugas menangani perkara kolonel Latif, terdakwa dijerat dengan Hukum Pidana ( KUHP ) bukan Subversi. Sebetulnya pengakuan Latif bahwa ia sudah melapor kepada Pak Harto tentang rencana pembunuhan para jenderal, sudah cukup sebagai bahan untuk menyeret Pak Harto ke pengadilan. Paling tidak, Pak Harto diseret sebagai saksi atas perkara Kolonel Latif, akan tetapi situasi ini politik pada saat itu tidak menguntungkan.
Agar terlihat konstitusional dikeluarkanlah ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan pencabutan kembali kekuasaan pemerintah Negara dari tangan Presiden Soekarno, dengan Ketetapan MPRS itu juga pemegang Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 diangkat menjadi pejabat presiden yaitu Jenderal Soeharto. Dengan begitu Soekarno pun terjungkal dari kursi kekuasaannya. Soekarno disebut-sebut sebagai presiden pendukung komunis gara-gara konsep nasakomnya. Era Soeharto pun dimulai.
Sebagai jenderal senior DR A. H. Nasution tentu saja setuju dengan pembubaran PKI pada mulanya, Karena beliau adalah orang yang paling keras menentang PKI. Hanya saja untuk menguasai keadaan sudah tidak mungkin lagi karena beliau terpukul atas gugurnya putri kandungnya yang bungsu Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau yang setia Lettu Piere Tendean. Tetapi beliau sangat tidak setuju penghujatan pemerintah yang terlalu berlebihan terhadap Angkatan Udara sebagai pihak yang terlibat untuk tempat latihan di Lubang Buaya Jakarta. Selanjutnya dalam beberapa kali pemilihan umum Pak Harto dipertahankan menjadi Presiden yaitu dengan ketetapan sebagai berikut :
1.      Tap MPR No IX/MPR/1973 Hasil Pemilu 1971
2.      Tap MPR No X/MPR/1978 Hasil Pemilu 1977
3.      Tap MPR No VI/MPR/1983 Hasil Pemilu 1982
4.      Tap MPR No V/MPR/1988 Hasil Pemilu 1987
5.      Tap MPR No IV/MPR/1993 Hasil Pemilu 1992
Strateginya adalah dengan menunjuk para anggota MPR khusus untuk utusan daerah dan utusan golongan, yaitu para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I para Panglima Komando Daerah Militer, para Rektor Perguruan Tinggi Negeri, para Menteri Kabinet, para Istri dan Anak Menteri untuk duduk di Lembaga Konstitusi ini ( yang sudah barang tentu dekat dengan beliau ) sehingga setiap pemilihan umum beliau diangkat menjadi presiden bahkan dengan kebulatan tekad. Keberadaan Golkar yang merupakan perpanjangan tangan dari ABRI diperkuat dengan masuknya tanpa pilihan para Pegawai Negeri Sipil, Ibu-Ibu Dharma Wanita, Ibu-Ibu Dharma Pertiwi dan Keluarganya de dalam Golkar yang berlambang pohon beringin ini membuat Pak Harto menjadi penguasa yang sulit untuk digulingkan dari kursi kekuasaannya.
Gaya kepemimpinan Soeharto cukup kalem, dia selalu kelihatan tersenyum meski dia menghadapi suatu masalah sekalipun. Pembawaannya tenang, kelihatan ramah jadinya. Ciri khasnya pun senyumannya itu. Ketika berhadapan dengan lawan-lawan politiknya pun dia selalu tersenyum. Saat peristiwa Malari pun, dia tersenyum. Namun di balik senyuman itu ternyata menyimpan sejuta makna dan misteri. Di balik senyumannya itu, Soeharo memerintah dengan tangan besi. Siapa yang mengganggu pemerintahannya akan dibungkam. Pada masa Soeharto lah banyak kasus orang hilang dan petrus atau penembak misterius. Jangan coba-coba berkata dan menulis sembarangan tentang pemerintahannya kalau tak mau dibui. Semua sudah diatur dalam undang-undang subversif. Kalau ada yang melanggar undang-undang ini, jangan harap bisa menghirup udara bebas. Pers dibungkam karena dianggap dapat meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas nasional. Media-media besar nasional pernah jadi korbannya, termasuk Kompas. Andai kita masih hidup di eranya Soeharto, media blogging seperti Kompasiana pun tak bakal bisa hidup. Demikianlah gaya kepemimpinan Soeharto untuk mencegah instabilitas di negerinya.
Meski cara kepemimpinan soeharto merupakan neraka bagi para aktivis atau lawan-lawan politiknya karena pada era kepemimpinan Soeharto jauh sekali dari kata Demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau “government or rule by the people”, namun Soeharto  menjadi berkah bagi rakyat kecil. Bagi rakyat kecil, era Soeharto merupakan era terbaik karena sembilan kebutuhan pokok yang mereka butuhkan sangat terjangkau. Harga beras murah, minyak tanah juga, bahkan harga cabai tak sampai semahal sekarang. Keamanan buat mereka pun terjamin. Yang paling membanggakan lagi, di era Soeharto, Indonesia menjadi negara paling berpengaruh dan disegani di Asia Tenggara. Tak ada negara ASEAN yang berani menyinggung Indonesia seperti yang dilakukan oleh Malaysia sekarang. Selama 32 tahun kita berjalan seperti itu. Namun, 1 mei tahun 1998 semuanya berubah, pada bulan Mei di tahun itu Soeharto terpaksa mengundurkan diri. Tak ada lagi yang mendukungnya, semua berbalik memusuhinya. Krisis ekonomi lah yang mendalanginya. Pondasi perekonomian yang dirancang ternyata tak membuat sistem perekonomian Indonesia kuat. Rupiah pun terpuruk hingga berkali-kali lipat, dan hutang pun jadi menumpuk. Tak hanya itu, korupsi ternyata hidup beranak pinak di era pemerintahan Soeharto. Demo dan kerusuhan pun terjadi di mana-mana hingga memaksa Soeharto turun dari tahtanya. Era reformasi pun menjelang.
Di era reformasi, Presiden Indonesia pun silih berganti mulai dari BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan yang terakhir sekaligus masih menjabat sampai hari ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, kebebasan berpendapat dan memperoleh informasi benar-benar terjamin. Semua orang bebas mengaspirasikan pendapatnya kepada para pemimpin baik melalui media massa dan elektronik atau melaui demonstrasi. Namun kebobrokan mental para birokrat bawaan era Soeharto tak bisa hilang begitu saja. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih hidup dan tumbuh subur. Padahal, ketika era reformasi datang,  semua bentuk kebobrokan tersebut diharap bisa lenyap. Nyatanya tidak juga. Walau kepemimpinan reformasi silih berganti selama lebih dari 10 tahun ini, tetap tak membuat Indonesia keluar dari keterpurukan itu. Tadinya, saat Susilo diangkat menjadi presiden pilihan rakyat, banyak yang berharap semua itu berubah. Namun, harapan tinggal harapan, sosok Susilo yang diharapkan mengubah semua kebobrokan itu tak bisa berbuat banyak. Banyak nya kasus – kasus korupsi yang belum terselesaikan mulai dari BLBI, Century, Gayus Tambunan, Nazarudin, dll. serta pelanggaran HAM yang terjadi baru-baru ini di Mesuji dan Bima tahun 2011 . serta Gaya kepemimpinan SBY yang lebih kuat pada pencitraan. Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi dituding banyak lawan politiknya cuma sekadar lipsing. Semuanya tak seindah yang dibayangkan, semua tak seindah warna aslinya, kekecewaan makin menumpuk, hingga menunggu bom waktu saja. Sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan besar, apakah SBY mampu mewujudkan Tujuan dan cita-cita Negara ini ? dengan Gaya Kepemimpinannya yang lebih banyak kepada Pencitraan daripada tindakan yang nyata untuk untuk mensejahterakan, mencerdaskan dan melindungi segenap tumpah darah warga negaranya sepertinya tujuan Negara hanya menjadi sesuatu yang utopis saja.
Dari penjabaran tentang masa kepemimpinan yang ada diatas. Ada baiknya kita telisik beberapa sifat nabi yang membawa pada teladan kepemimpinan:
  1. Shidiq Artinya jujur, benar, berintegrasi tinggi, dan terjaga dari kesalahan karena segala tindak tanduk sikap dan perbuatan dari pemimpin dilandasi kebenaran. Nabi Muhammad menjalankan seluruh aktivitas hidupnya bersadarkan perintah Allah yang merupakan sumber kebenaran. Bagi pemimpin sekarang, jalan terbaik untuk mendekati kualitas kepemimpinan nabi dapat dilakukan hanya dengan menggunakan acuan yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Hadist nabi.
  2. Amanah Artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel. Semenjak kecil gelar Al-Amin sudah melekat di pribadi Nabi Muhammad. Bahkan kaum kafir qurais juga mengakui kejujuran dan sifat amanah nabi. Coba bayangkan apabila pemimpin tidak dapat dipercaya, akan sulit sekali untuk bisa menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemimpin tersebut.
  3. Fathonah Artinya cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional. Pemimpin harus cerdas sebagai syarat dalam pengantisipasi segala permasalahan yang mungkin akan muncul dan mempunyai dan yang paling penting adalah cerdas dalam artian mampu membuat solusi atas berbagai permasalahan yang ada melalui berbagai sudut pandang.
  4. Tablig Artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif. Pemimpin harus bisa menyampaikan dan mensosialisasikan segala kebijakan yang diambil. Bagaimanapun juga masyarakat yang dipimpinnya harus mengerti dan memahami bagaimana pentingnya suatu kebijakan dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat. Proses ini juga memberikan kesempatan bagi masyarakat yang telah mengerti dan memahami kebijakan untuk bisa berperan aktif dalam mencapai tujuan terkait kebijakan yang diambil.
Dalam bentuk yang paling sederhana dan skala yang paling kecil, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jadi teladan kepemimpinan nabi bisa menjadi inspirasi untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada skala yang lebih luas seperti presiden, sifat dasar ini tentunya akan lebih memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas pula terutama dalam mewujudkan cita – cita dan tujuan Negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 pada alenia ke 4.
2.2  Birokrasi di Indonesia : antara Ide dan Realita
2.2.1        Pengertian Birokrasi
Birokrasi merupakan sebuah fenomena kehidupan yang mulai muncul abad 18 – 19 di mana seorang manusia sejak lahir sampai meninggal walaupun hidup di jaman modern seperti saat ini akan selalu berurusan dengan birokrasi. Birokrasi merupakan sesuatu yang kompleks, dimana setiap orang tidak persis sama memaknainya. Khususnya di Indonesia, birokrasi identik dengan birokrasi pemerintah. Asal kata birokrasi atau dalam bahasa inggris disebut Bureaucracy mulai diperkenalkan oleh filosof Prancis Baron de Grimm dan Vincent de Gournay adalah Boureau yaitu meja tulis dimana para pejabat (saat itu) bekerja dibelakangnya (Albrow, 1970) dan Cratein berarti kekuasaan. Dari pengertian tersebut, birokrasi berarti kekuasaan berada pada orang – orang yang dibelakang meja.
Salah seorang pemikir pertama mengenai konsep birokrasi adalah Max Weber. Gagasannya tentang birokrasi rasional dipercaya oleh sebagian besar ahli politik – pemerintahan sangat mempengaruhi pembentukan semua organ birokrasi di hamper setiap Negara saat ini, baik yang demokratis maupun otoriter. Pada dasarnya Weber (1992) berpendapat bahwa birokrasi rasional adalah sebuah konsepsi birokrasi yang muncul atas dasar kaidah – kaidah otoritas hukum, bukan karena sebab lain, seperti otoritas tradisional maupun otoritas kharismatik. Menurutnya ciri-ciri utama dari struktur birokrasi didalam tipe idealnya adalah sebagai berikut :
1.      Kegiatan – kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi dalam cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Pembagian kerja yang jelas ini memungkinkan untuk mengerjakan tenaga-tenaga spesialisasi dalam tiap jabatan, dan membuat mereka bertanggung jawab untuk pelaksanaan efektif dari tugasnya tersebut.
2.      Pengorganisasian jabatan – jabatan mengikuti prinsip hierarki, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari pada jabatan yang lebih atas. Setiap pejabat di dalam hierarki administratif ini dapat diminta pertanggungan jawabnya oleh atasannya mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang dibawah pimpinannya itu. Supaya ia dapat memimpin bawahan, seseorang mempunyai kewenangan atas bawahan tersebut, yaitu mempunyai hak untuk  mengeluarkan petunjuk/intruksi dan bahwa atas kewenangan itu, bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan tersebut hanyalah terbatas kepada pemberian petunjuk/intruksi yang relevan dengan tugas atau fungsi jabatan. Penggunaan dari prerogative status untuk memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan pelaksaan kewenangan birokratis yang sah ( legitimate )
3.      Operasi – operasi atau pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu sistim peraturan yang konsisten dan pelaksanaan dari pada peraturan – peraturan ini terhadap kejadian atau kasus-kasus tertentu. Sistim dari standar ataupun peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan, tanpa melihat jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk kordinasi berbagai tugas. Peraturan atau tata cara tersebut juga memberikan pembatasan wilayah tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan antar mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan diri kepada peraturan atau standar-standar tersebut diapak untuk jabatan-jabatan tinggi ada standar untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya.
4.      Pejabat yang ideal dalam sesuatu birokrasi melaksanakan kewajiban didalam semangat formil non pribadi. Artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Supaya standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan tanpa gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non pribadi harus berlaku didalam suatu organisasi dan terutama kepada pelanggan. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi didalam urusan jabatan berarti suatu pra kondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi. Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan mereka yang dilayani. Dengan sikap pelayanan yang sama berarti juga membina demokrasi dalam administrasi.
5.      Penempatan kerja di dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Di dalam suatu organisasi birokrasi, penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karir. Ada sistem promosi, entah atas dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya jiwa korps diantara para anggotanya. Identifikasi anggota organisasi dengan organisasinya merangsang mereka mengusahakan tujuan dan kepentingan organisasi secara lebih baik.
6.      Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisiensi tingkat tertinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi memecahkan masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi dan bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk inilah maka diperkembangkan spesialisasi dan pengadaan serta penempatan kerja pegawai atas dasar kualifikasi teknis.
Birokrasi ada karena adanya Negara. Di satu sisi birokrasi menolong masyarakat mencapai tujuan-tujuan hidupnya, namun pada sisi lain birokrasi dapat menyengsarakan, menindas, mengeksploitir, dan bahkan dapat mendorong masyarakat menuju jurang kehancuran. Dengan kata lain, hitam-putihnya Negara tergantung pada bagaimana birokrasi di Negara tersebut. Apabila birokrasi mempunyai kinerja yang baik, inovatif, kreatif dan produktif, maka akan baiklah Negara dan masyarakatnya. Sebaliknya bila birokrasi bobrok, korup, bebal, dan tidak produktif, maka akan bobrok dan hancurlah Negara tersebut. Pada prakteknya di Indonesia, birokrasi dimaknai oleh orang awam sebagai suatu prosedur yang berbelit-belit, kaku, lamban, dan kentalnya nepotisme. Sehingga walaupun birokrasi merupakan institusi yang selalu dan berperan penting dalam kehidupan masyarakat, pada saat yang bersamaan merupakann institusi yang paling dibenci oleh sebagian besar masyarakat.
2.2.2 Birokrasi di Indonesia
Bila melihat sejarah terutama saat orde baru, birokrasi pemerintah merupakan bureaucratic polity ( karl D. Jakson ). Birokrasi yang bersumber pada akumulasi kekuasaan Negara dan  mengesampingkan peran masyarakat dari panggung politik. Negara sangat berkuasa sehingga terbentuklah suatu prilaku birokrasi yang serba sungkan dan tertutup. Dalam hal ini budaya feodalistik masih terasa. Birokrasi semacam ini mendasarkann pada hubungan bapak buah dan anak buah (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan atasan. Ini menimbulkan dampak bawahan selalu tergantung pada atasan. Budaya patronasi berdampak pada prilaku ewuh pakewuh ( sungkan ) yang berlebihan terhadap atasan, loyalitas terhadap atasan dan bukan kepada organisasi. Patologi (penyakit) birokrasi lainnya yaitu belum berorientasi pada prestasi, keinginan untuk melayani masih rendah, teknologi tidak digunakan secara tepat guna, budaya ekonomi biaya tinggi, dan jumlah pegawai banyak ( kuantitas ) namun kurang berkompeten ( kualitas ). Di samping itu, pada masa lalu birokrasi menjadi sarang “penyamun” yang melegalkan praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Dari survey yang dilakukan oleh Dwiyanto, dkk (2002) terlihat bahwa nilai capaian kinerja birokrasi dalam hal produktifitas, kualitas layanan, responsivitas, responsibilitas dan akuntabilitas birokrasi kita masih sangat rendah. Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Dwiyanto, dkk (2002), menurut The World Competitiveness Yearbook tahun 1999, tingkat indeks Competitiveness birokrasi kita berada pada urutan terendah dari 100 negara lain di dunia. Dari hasil penelitian Dwiyanto terbukti bahwa dari segi orientasi pelayanan, birokrasi kita masih cenderung tidak sepenuhnya mencurahkan waktu dan tenaganya untuk menjalankan tugasnya melayani masyarakat. Sehingga tidak jarang ada yang mengatakan bahwa jika ingin menguji kesabaran, cobalah mengurus perijinan di pemerintah. Hal ini timbul karena proses yang dihadapi dalam melakukan suatu urusan di pemerintah adalah berbelit-belit, tidak transparan, pelayanan tidak ramah, sombong dan cuek, “mata duitan”, serta lebih mengutamakan formalitas dan rutinitas dari pada hasil kerja yang esensial. Secara global, kesan negatif yang di timbulkan birokrasi adalah karena birokrasi tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat. Konsep ini dikeknal dengan traditional bureaucracy atau old model bureaucracy.
Karakteristik birokrasi kita sangat lah kaku, karena dibentuk atas dasar peraturan perundangan yang proses perubahannya tidak mudah dan sederhana, lembaga pemerintah sering tidak dapat merespon dengan cepat perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Peraturan perundangan merupakan produk sebuah proses politik yang kompleks serta melibatkan stakeholders dengan kepentingan yang  seringkali saling bertentangan satu sama lain. Mengubah peraturan perundingan seringkali sulit dilakukan karena memerlukan consensus politik yang tidak mudah diperoleh. Akibatnya, suatu instansi pemerintah yang keberadaan dan operasionalnya diatur suatu peraturan perundangann sering mengalami kesulitan dalam merespon perubahan yang terjadi dengan cepat. Lebih dari itu peraturan perundangan di Indonesia cenderung lebih merinci dalam mengatur prilaku organisasi atau birokrasi pemerintah, hal ini mungkin karena pemerintah merasa khawatir jika terjadi penyalahguanaan kewenangan oleh pengelola birokrasi, namun dengan keberadaan peraturan yang sangat terperinci membuat birokrasi pemerintah kehilangan fleksibilitas dalam menjawab dinamika lingkungan.
Kondisi sebagaimana disebutkan diatas menjadi salah satu alasan yang menuntut agar dilakukan reformasi pada tataran birokrasi. Inti dari latar belakang yang mengharuskan dilakukannya reformasi birokrasi adalah :
1.      Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih berlangsung hingga saat ini ;
2.      Tingkat kualitas pelayanan publik yang belum mampu optimal dari birokrasi pemerintahan ;
3.      Tingkat transparansi dan akuntabilitas birokrasi pemerintahan yang masih rendah ;
4.      Tingkat disiplin dan etos kerja pegawai yang masih rendah.
Paling tidak ada tiga alasan mengapa reformasi birokrasi menjadi sebuah keharusan. Pertama, sebagai keharusan politik. Spirit penyelenggaraan Negara pasca orde baru adalah pengabdian kepada kedaulatan rakyat berbeda dengan zaman orde baru dimana birokrat sebagai abdi Negara yang diorientasikan kepada kepentingan politik semata. Mindset lama yang berpandangan bahwa birokrat harus dilayani dan dihormati publik kini harus dirombak menjadi melayani publik, karena mereka bekerja dengan dibayar dari dana pajak yang dipungut dari rakyat. Kedua, sebagai keharusan ekonomi. Ruh reformasi adalah komitmen untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. KKN membuat ekonomi Negara rusak, bangkrut, inefisien dan high cost. Ketiga, tuntutan globalisasi. Interaksi global yang makin terbuka dan intensif mensyaratkan performa birokrasi yang professional, cekatan, efisien, dan efektif agar investor baik domestik maupun asing akan bersemangat dalam mengembangkan usaha bila berhubungan dengan birokrasi yang profesional, begitupun sebaliknya.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelengaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek – aspek :
1.      Kelembagaan ( organisasi )
2.      Ketatalaksanaan ( business process )
3.      Sumber daya manusia aparatur
            Penataan ulang dan pembaharuan yang dilakukan adalah dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance ) dan juga pemerintahan yang bersih ( clean governance), yaitu tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai urusan publik, memiliki sikap kompetisi dalam memberikan pelayananan, mendorong tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik ( public accountability ) secara teratur. Atau dengan kata lain, reformasi birokrasi merupakan langkah strategis untuk membangun aparatur Negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional serta berperan penting dalam mewujudkan cita – cita dan tujuan Negara.
2.2.3 Reformasi dari bawah
            Upaya dalam mereformasi birokrasi dengan berbagai pendekatan teoritis/konseptual seperti privatisasi dan perubahan ekonomi perencanaan menjadi ekonomi pasar (savas, 1987 ; World Bank, 1996) ; reinventing government (david Osborne dan Ted Gaebler, 1992 ) ; knowledge – creating organization ( Ikujiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi, 1995 ) ; learning organization sebagai disiplin ke – 5 ( Peter Senge, 1995) ; banishing beuruecracy ( david Osborne dan Peter Plastrik, 1996) ; dan lain lain telah dilakukan, namun masih belum maksimal. Ini mengisyaratkan kita untuk mencari metode reformasi yang benar – benar efektif dan mujarab untuk membangun sosok birokrasi yang benar – benar sehat, bersih, professional, sekaligus demokrasi dan berkinerja tinggi.
            Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Muhamadiayah ( UM ) Malang, Prof Mas’ud, menyarankan agar pembenahan/reformasi birokrasi terutama pembenahan sikap birokrat dimulai dari level bawah. Ada 4 alasan mengapa pembenahan dimulai dari level bawah : Pertama, Pilihan bentuk dan prioritas reformasi bisa fleksibel menurut variasi kondisi daerah karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah yang merupakan struktur terbawah dalam pemerintahan yang memiliki ciri dan karakteristik tersendiri antara satu daerah dengan daerah yang lain. Kedua, jika reformasi birokrasi dilakukan di tingkat daerah maka biaya yang dibutuhkan akan lebih bisa dikalkulasi karena perubahan masih dilakukan dalam skala kecil dengan waktu yang tidak terlalu lama apabila dibandingkan dengan reformasi yang dimulai dari atas. Ketiga, posisi kabupaten/kota sebagai unit pemerintahan dasar bisa menjadi fundamen bagi perubahan di level atas ( birokrasi nasional ). Keempat, reformasi ditingkat bawah jauh lebih dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan masyarakat yang selalu berubah. Dalam kerangka otonomi daerah, selain berfungsi sebagai unit langsung pelayan publik, letak birokrasi daerah juga berjarak lebih dekat dengan profil kebutuhan nyata masyarakat.
2.2.4 Membangun Budaya Birokrasi Pemerintah
            Membangun budaya birokrasi pemerintah idealnya adalah membangun sikap dan perilaku sistem yang kemudian diikuti secara konsisten oleh pelakunya untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik. Birokrasi pemerintah sudah seharusnya memiliki sifat yang transparan dan akuntabilitas. Dengan adanya budaya transparan maka kebiasaan terbukanya control dan akuntabilitas public oleh sistem birokrasi pemerintah akan menjadi budaya yang demokratis. Peranan rakyat baik melalui lembaga perwakilan maupun rakyat secara terbuka bisa dilakukan untuk menjamin budaya birokrasi pemerintah yang amanah. Sistem birokrasi pemerintah dengan prinsip tata pemerintahan yang demokratis sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bung Hatta adalah tata pemerintahan yang berdaulat rakyatnya bukannya tuannya. Sistem birokrasi yang transparan bagi rakyatnya dan mengetengahkan desentralisasi ke daerah, professional, dan ditegakkan hukum secara konsekuen tanpa adanya perbedaan.

Bab III
Kesimpulan
Dalam bentuk yang paling sederhana dan skala yang paling kecil, kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Jadi teladan kepemimpinan nabi yaitu sidiq, amanah, fathonah dan tabliq bisa menjadi inspirasi untuk kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pada skala yang lebih luas seperti presiden, sifat dasar ini tentunya akan lebih memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas pula terutama dalam mewujudkan cita – cita dan tujuan negara.
            Sebagai mana kita ketahui bahwa sebuah perubahan akan kuat bertahan apabila memiliki dasar yang kuat, membangun budaya kepemimpinan dalam birokrasi tidak cukup hanya membangun elit-elit yang ada dalam birokrasi. Bekerjanya birokrasi akan sangat bergantung pada seluruh aparatur yang berada di berbagai tingkatan. Dengan demikian, pola pengembangan kepemimpinan harus berangkat dari asumsi bahwa setiap orang adalah pemimpin. Untuk menciptakan pemimpin yang baik, harus ada proses seleksi SDM yang benar sehingga terpilih yang betul-betul berkualitas. Jika semua daerah telah berhasil melaksanakan reformasi birokrasi, maka berulah dapat dikatakan Negara tersebut telah berhasil dalam penyelenggaraan birokrasi, penyelenggaraan birokrasi berhasil maka akan semakin mudah kita mencapai cita – cita dan tujuan Negara yang kita impikan selama lebih dari setengah abad Negara ini merdeka.

Daftar Pustaka
Inu Kencana Syafiie dan Azhari (2009), Sistem Politik Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama
Moeljono, Djokosantoso (2008), More About Beyond Leadership – 12 Konsep Kepemimpinan, Jakarta : PT Elex Media Komputindo
Tjiharjadi, Semuil (2007), To Be A Great Leader, Yogyakarta : Penerbit ANDI
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin (2008), Perbandingan Pemerintahan, Bandung : PT Refika Aditama
Budiardjo, M. (2006), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Thoha, Miftah (2003), Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
------------ (2009), Governance Reform di Indonesia : Mencari Arah Kelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional, Yogyakarta : Penerbit Gava Media dan MAP – UGM
------------ ( 2006 ), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
------------ ( 2009 ), Membumikan Konsep Reformasi Birokrasi, Samarinda : LAN Samarinda
Center for information Analysis (1999), Gerakan 30 September ; Antar Fakta dan Rekayasa, Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo

No comments:

Post a Comment