Tuesday, May 17, 2011

Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Paradigma sosial adalah salah satu cara yang diajukan oleh Gerge Ritzer dalam bukunya Sociology: a Multiple Paradigm Science (1980). Menurut George Ritzer pengertian paradigma adalah apa yang menjadi pokok persoalan suatu ilmu pengetahuan. 

Menurut Ritzer, sosiologi mempunyai tiga paradigma, yaitu: 
1. Fakta sosial
Paradigma fakta sosial merupakan rintisan Emile Durkheim dalam The Rule of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Fakta sosial terdiri dari dua macam yaitu fakta sosial material dan fakta sosial nonmaterial. Fakta sosial material, misalnya bentuk-bentuk bangunan, hukum, dan lain-lain. Sedangkan fakta sosial nonmaterial, misalnya waktu, opini, kepercayaan, dan sebagainya. Beberapa teori sosiologi yang masuk paradigma fakta sosial adalah 1. Teori Fungsionalisme Struktural; 2. Teori Konflik; 3. Teori Sistem; dan 4. Teori Sosiologi Makro. 

2. Definisi sosial 
Paradigma definisi sosial ini didasarkan pada salah satu karya Max Weber. Berbeda dengan Durkheim, Weber tidak dengan tegas memisahkan struktur sosial dan pranata sosial. Justru struktur sosial dan pranata sosial ini membentuk tindakan manusia agar penuh arti. 

Berdasasrkan konsep tentang tindakan sosial dan relasi sosial, terdapat lima ciri pokok sasaran penelitian sosiologi menurut Weber, yaitu: 1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yan subyektif; 2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin dan yang sepenhnya bersifat subyektif; 3. Tindakan karena suatu situasi, sengaja diulang, dan tindakan dalam bentuk persetujuan diam-diam; 4. Tindakan yang diarahkan kepada individu atau kepada beberapa orang; dan 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan mengarah pada tindakan itu. 

Beberapa teori yang masuk dalam kategori paradigma definisi sosial, yaitu Teori Aksi (Action Theory), Interaksionisme Simbolik (Symbolic Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology). 

3. Perilaku sosial
Eksemplar paradigma ini adalah karya B.F Skinner. Skinner adalah orang yang mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip behaviorisme ke dalam sosiologi. Penelitian paradigma sosial sering menggunakan metode eksperimen. Meskipun kadang juga menggunakan metode kuesioner, wawancara, dan observasi. Teori yang masuk dalam paradigma perilaku sosial adalah Behavioral Sociology dan Exchange Theory.

Tuesday, May 10, 2011

Liberalisasi Pemikiran Keislaman : Relasi antara Agama dan Ideologi dalam Diskursus Kekuasaan


Dalam beberapa waktu terakhir, banyak isu yang berkembang dalam kehidupan indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar mengingat sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnis, agama, pandangan politik dan setting geografis yang luas, tentu saja akan di iringi dengan problematika yang dinamis dari saat ke saat. Salah satu isu yang muncul dalam kurun waktu belakangan ini adalah mengenai gerakan NII (Negara Islam Indonesia).
            Isu gerakan NII yang mencuat ini banyak menghiasi berbagai macam media massa baik cetak maupun elektronik. Gerakan NII mulai ramai dibicarakan ketika ada pemberitaan mengenai ‘orang hilang’. Belakangan diketahui, bahwa orang tersebut menjadi korban pencucian otak yang dilakukan oleh kelompok ini. Dan yang menjadi sasaran, sebagian besar adalah mahasiswa di perguruan tinggi.
            Semua pemberitaan itu terarah pada NII komandemen Wilayah IX (KW IX). NII KW IX ini sendiri diduga dipimpin oleh Abu Toto alias Abdul Salam alias Abu Maarik alias Panji Gumilang. Panji gumilang juga merupakan pimpinan ponpes Al-Zaitun di Jawa Barat. Gerakan yang dilakukan kelompok ini adalah dengan merekrut orang-orang untuk dijadikan sebagai penggerak organisasi tersebut. Cara perekrutan dapat dikatakan modus baru dalam gerakan organisasi islam, yaitu metode pencucian otak. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai aksi perekrutan ini, apakah yang dimaksud pencucian otak merupakan salah satu dari metode dalam hipnotis ataupun proses internalisasi nilai yang dilakukan secara alamiah berupa transformasi gagasan. Tapi jika dilihat hasilnya, proses perekrutan itu begitu cepat, dan hal ini mengarahkan bahwa proses perekrutan dilakukan dengan pendekatan pencucian otak melalui metode hipnotis.
            Sebagaimana yang telah diketahui, organisasi NII merupakan organisasi yang memiliki cita-cita ideologis untuk mendirikan negara islam indonesia. Sebuah negara yang diatur penuh berdasarkan hukum dan syari’at islam. Gerakan ini berakar dari cita-cita gerakan yang diprakarsai oleh Kartosoewiryo melaui organisasi DI/TII pada tahun 1949. Namun demikian secara praktek kekinian yang ditunjukkan oleh NII dinilai menyimpang dari ajaran islam. MUI berpendapat bahwa letak penyimpangan NII diantaranya adalah mobilisasi dana yang menghalalkan berbagai macam cara, termasuk merampok, penipuan dan lain sebagainya. Kemudian tidak mengakui keislaman orang diluar kelompoknya dan praktek keislaman dalam masalah zakat dan kurban yang berbeda dari pemahaman islam pada umumnya (sebagaimana yang terjadi pada ponpes Al-Zaitun pimpinan Panji Gumilang).
            Peristiwa ini sebenarnya hanya merupakan salah satu dari sekian banyak peristiwa serupa yang pernah terjadi di masa lalu. Serangkaian peristiwa tersebut sebagian besar merupakan peristiwa yang berkaitan erat dengan cita-cita ideologis kaum agamawan dalam usaha menegakkan supremasi agamanya dalam ranah kekuasaan. Sebut saja diantara kasus itu adalah peristiwa teror sosial yang terjadi dalam rentang waktu satu dasawarsa terakhir, berupa pengeboman sarana sosial seperti kantor, hotel, cafĂ© dan yang terakhir adalah paket bom buku yang dikirim kepada tokoh-tokoh kontroversial negeri ini. Rasionalisasi yang diberikan adalah kegiatan teror sosial yang dilakukan tersebut adalah upaya untuk memerangi orang-orang dan kelompok yang menghalangi cita-cita ideologis mereka tersebut.
Para terpidana mati kasus bom bali menyebutkan bahwa sasaran mereka adalah orang-orang asing eropa dan amerika yang menjadi representasi kekuatan barat yang selama ini berada pada posisi menghalangi cita-cita ideologis islam (menurut versi para terpidana tersebut). Begitupun ketika terjadi pengeboman di salah satu kedutaan besar negara sahabat di jakarta, kemudian pengeboman hotel berbintang yang merupakan simbol penguasaan barat terhadap perekonomian negeri ini. Dan masih banyak lagi kasus lainnya yang dapat disebutkan.
            Yang dapat dicermati dan menonjol dari akasi-aksi serupa ini adalah corak perjuangan untuk mencapai tujuan yang cenderung abai terhadap nilai-nilai universal kemanusiaan. Dan terlebih lagi, kaum fundamentalis ini beranggapan bahwa yang dilakukan merupakan sesuatu yang berasal dari islam dan mendapat restu dari Allah dan Rasul-Nya. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari cara kaum fundamentalis ini dalam memahami ajaran islam yang sangat literal dan kaku. Otoritas hukum dipandang hanya sebatas apa yang dapat mereka tangkap secara simbolik dari sumber hukum islam, yaitu Al-qur’an dan Hadits.
Azyumardi Azra dalam bahasannya mengenai tipologi gerakan keagamaan, menggolongkan kelompok/golongan seperti yang disebutkan diatas sebagai golongan legalisme/formalisme. Paham keagamaan legalisme/formalisme menekankan sikap eksklusif dan ketaatan formal pada hukum agama, yang dalam konteks sosial kemasyarakatan sering di ekspresikan dalam bentuk-bentuk yang sangat lahiriyah semacam label atau simbol keagamaan. Bagi para pendukung paham ini, ekspresi keagamaan harus didukung secara ekplisit melalui formalisasi misalnya, formalisasi bank islam, asuransi islam, griya dan lain-lainnya. Dalam tataran yang lebih jauh, formalisme dalam bentuk busana pun dilakukan, yaitu berpakaian arab berupa jubah, jenggot yang panjang dan celana di atas mata kaki. Golongan ini bercirikan sangat literalistik dalam memahami ajaran islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Sikap seperti ini lah yang disebut sebagai radikal dan fundamentalistik, yang jika tidak di hadapi dengan baik akan berujung pada radikalisme destruktif. Yaitu tinndakan radikal yang membahayakan lingkungan di sekitarnya, berupa pengrusakan dan teror-teror sosial.
Banyak hal yang menyebabkan sikap pemahaman keagamaan yang keras dan radikal seperti itu. Syafii Maarif mengatakan bahwa sikap fundamentalisme agama, yang pertama, dapat disebabkan oleh kegagalan islam dalam menghadapi modernitas yang dianggap sebagian kalangan, menyudutkan islam. Karena ketahanan yang tidak memadai dalam menghadapi modernitas ini dan kemudian terasing, para kaum fundamentalis selanjutnya menghibur diri dengan mencari justifikasi teologis untuk melawan modernitas tersebut. Kedua, sikap fundamentalisme agama dapat di dorong oleh rasa kesetiakawana dan solidaritas keimanan terhadap nasib yang menimpa ummat islam di berbagai belahan dunia, seperti Palestina, Irak, Afganistan, dan negara lainnya di daerah timur tengah. Ketiga, adalah isu kegagalan pemerintah, khususnya indonesia, dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ummat. Isu ini kemudian dijadikan propaganda oleh kaum radikal fundamentalis untuk mengeksploitasi kegagalan demokrasi (yang sering mereka sebut produk barat dan hasil dari modernitas), dan akhirnya mengukuhkan kedigdayaan syari’at islam dalam mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.

Perbedaan ontologis Agama dan Ideologi
             Sebenarnya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, sejauh manakah relevansi untuk menegakkan supremasi agama dalam bingkai kekuasaan?. Penulis berpandangan bahwa upaya untuk menegakkan nilai-nilai agama, dalam hal ini islam, dalam bingkai kekuasaan justru akan menurunkan tingkat spiritualitas nilai-nilai agama itu sendiri. Cita-cita untuk menegakkan supremasi agama dalam bingkai kekuasaan, berarti mengharuskan untuk mengubah nilai-nilai agama yang semula luhur dan sangat tinggi, menjadi nilai ideologis yang selanjutnya mendasari perjuangan kelompok tertentu dalam mencapai kekuasan sesuai dengan kadar dan interpretasi kelompok tersebut terhadap nilai-nilai agama itu. Pada tahap ini, nilai-nilai agama tidak lagi menjadi universal, namun sebaliknya menjadi parsial dan partikular. Agama tidak lagi menjadi spirit, malah menjadi hipokrit karena menjustifikasi kekuasaan melalui kesucian agama.
            Agama dan ideologi sebenarnya memiliki titik aksentuasi yang berbeda jika dilihat dari cara pandang ontologis. Keberadaan agama di yakini sebagai manifestasi dari tuntunan Tuhan dalam membimbing fitrah spiritualitas manusia dalam menjalani kehidupan. Sementara ideologi, merupakan penghayatan manusia terhadap alam dan lingkungannya yang membentuk cara pandang manusia tersebut. Selanjutnya ranah aktualisasi agama adalah pada sikap ketundukan dan kepatuhan manusia pada setiap ketentuan Tuhan, pada saat yang bersamaan ideologi menekankan pada institusionalisasi hasil-hasil rasionalisasi pemikiran manusia sebagai ketentuan dalam melaksanakan kehidupan. Dilihat pada perbedaan ontologis ini, maka upaya apapun yang dilakukan untuk menjustifikasi nilai-nilai agama dalam negara akan menghadapi tantangan, apakah nilai-nilai agama yang di usung benar-benar merupakan murni ajaran agama tersebut? Bukannya malah itu merupakan hasil pemikiran para kelompok tersebut mengenai agama yang telah bertransformasi menjadi ideologi.
            Tetapi, entah sengaja atau tidak, kelompok-kelompok radikal fundamentalis yang memperjuangkan hal ini seakan tidak menyadari bahwa telah terjadi degradasi nilai-nilai spiritualitas pada nilai-nilai agama yang mereka perjuangkan. Harus disadari bahwa tindakan seperti ini (justifikasi nilai-nilai agama dalam praktek politik) hanya akan menjatuhkan tingkat spiritualitas agama yang sangat mulia ke tingkatan yang rendah. Nilai-nilai agama yang diarahkan pada ideologisasi gerakan politik hanya akan membuat sempit kerangka nilai agama tersebut, kerana bagaimanapun juga, nilai-nilai agama yang mulia itu akan terkungkung dalam batasan-batasan ideologi dan platform politik golongan tertentu sesuai dengan tingkat pemahamannya terhadap ajaran agama tersebut.
Karakter dari interpretasi ideologi itu bersifat hegemonik, sehingga hal ini menimbulkan anggapan bagi mereka, bahwa siapapun yang menentang ideologi mereka  berarti menentang islam (yang sebenarnya itu hanyalah islam versi mereka). Kelanjutan dari anggapan seperti ini adalah sikap permissif terhadap penyerangan dan kekerasan bagi siapa saja yang berada pada posisi diametral terhadap ideologi mereka.

Akar Historis Relasi Agama, Ideologi dan Kekuasaan
Sejarah islam mencatat banyak hal mengenai persinggunan agama dan ideologi dalam kancah perebutan kekuasaan. Pada masa pasca wafatnya Nabi saw terjadi perdebatan yang hebat mengenai siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai pemimpin ummat, sehinnga jenazah Nabi pun pada saat itu, tiga hari baru dikebumikan dikarenakan tidak diinginkan adanya kekosongan kepemimpinan ummat islam. Banyak riwayat yang mengatakan hampir terjadinya pertumpahan darah, namun pada akhirnya atas inisiatif dan saran dari Umar ibn Khattab, terpilihlah Abu Bakar sebagai Khalifah pertama penngganti Nabi Saw.
            Nurcholish Madjid mengatakan bahwa semenjak pergantian kepemimpinan itu terjadi perpecahan di kalangan ummat islam pada saat itu. Ummat islam terbagi dalam tiga golongan. Pertama adalah golongan pewaris aristokrasi makkah yang direpresentasikan oleh kelompok Bani Umayyah dengan ciri memiliki kekuatan finansial dan pengalaman dalam menjalankan pemerintahan. Kedua adalah golongan sosialis-populis yang dipimpin oleh Ali ibn Abi Thalib dengan ciri yang shaleh. Kemudian yang ketiga adalah golongan moderat yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya golongan Ali (syi’ah Ali) sebenarnya adalah oposisi terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, apalagi terhadap kaum aristokrat Bani Umayyah. Pergantian kekuasaan dapat kita lihat, setelah turunnya Umar ibn Khattab digantikan oleh utsman bin affan, yang merupakan representasi dari golongan aristokrat umayyah, pewaris tahta kekuasaan makkah pada saat itu. Pada saat yang sama kelompok Ali (syi’ah Ali) merupakan kelompok yang tetap konsisten untuk beroposisi terhadap kepemimpinan golongan Umayyah tersebut.
            Pada masa berkuasanya Utsman inilah perpecahan umat islam mulai menemukan momentumnya. Azyumardi Azra mengatakan bahwa pada masa Utsman (24-36 H/ 644-656 M), terjadi konflik antara kaum muslimin mengenai tuduhan pada pemerintahan Utsman yang melakukan politik nepotisme, karena sejumlah anggota kabilahnya (golongannya) muncul memegang posisi-posisi penting di permerintahan. Oleh karenanya, utsman mendapat oposisi yang keras dari luar pemerintahan oleh golongan Ali, hingga berakhir pada pembunuhan. Selanjutnya perseteruan terus terjadi di kalangan kaum muslimin pasca kematian Utsman, yaitu terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok yang ingin mengangkat segera Ali ibn Abi Thalib sebagai Khalifah, dan yang kedua adalah kelompok keluarga utsman yang dipimpin oleh Mu’awiyah ibn Abi Sofyan yang menghendaki agar kasus pembunuhan Utsman diselesaikan terlebih dahulu sebelum mengangkat pemimpin baru dikalangan kaum muslimin. Perseteruan ini akhirnya berakhir dengan perang Shiffin (656-661 M) yang sempat akan dimenangkan oleh golongan Ali, namun karena golongan Mu’awiyah mengajukan perdamaian, akhirnya perang berakhir dengan perdamaian antara dua golongan ini.
Perdamaian ini kemudian memunculkan pro dan kontra di kalangan pendukung Ali ibn Abi thalib. Ada kalangan yang setuju dengan perdamaian tersebut dan adapula yang tidak setuju. Golongan yang tidak setuju terhadap perjanjian perdamaian tersebut pada akhirnya memutuskan untuk keluar dari golongan Ali. Golongan ini menganggap perdamaian tersebut merupakan dosa besar yang pernah dilakukan, mereka beralasan bahwa golongan Mu’awiyah tidak selayaknya di beri tempat untuk perdamaian karena telah melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Kelompok yang kemudian dinamakan golongan khawarij ini  menganggap golonagan Ali benar-benar telah keluar dari ajaran islam karena melakukan perdamaian dengan golongan Muawiyah.

Liberalisasi : Epistimologi Pemikiran Relasi Agama, Ideologi dan Kekuasaan
Penjelasan mengenai kisah di zaman Nabi Saw ini membawa kita pada pertanyaan mendasar selanjutnya, setelah diawal kita mendiskusikan tentang relevansi formalisasi agama dalam kekuasaan. Pertanyaan itu adalah, lantas bagaimana sebenarnya relasi yang ideal antara agama, ideologi dan kekuasaan?
Untuk menjelaskan tentang hal ini penulis ingin mengajak untuk mendiskusikan apa yang telah disampaikan oleh Jalaluddin Rahmat. Kang Jalal telah dengan baik mengutip apa yang disampaikan oleh mantan rektor institut ilmu al-qur’an, Prof. Ibrahim Hosen yang mengajukan saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ada beberapa hal yang menjadi pokok pikiran dari prof. Ibrahim tentang pembaruan pemikiran keagamaa, khususnya islam.
Pertama, meninggalkan pemahaman harfiah terhadap Al-Qur’an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa Al-Qur’an. Kedua, mengambil sunnah rasul dari segi jiwanya untuk tasyri’ al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, mengganti pendekatan ta’abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta’aqquli. Keempat, melepaskan diri dari masalikul illah gaya lama dan mengembangkan perumusan illat hukum yang baru. Kelima, menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash (jawabir) untuk masalah pidana pemidanaan (zawabir). Dan yang terakhir, mendukung penuh hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.
Konsekwensi dari saran-saran pembaruan prof. Ibrahim Hosen ini kemudian memunculkan arus baru bagi pemahaman ajaran islam dengan jalan menangkap makna generik dari penjelasan Al-Qur’an dan Hadits. Dikatakan bahwa, kita harus menangkap jiwa sumber hukum islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits sebelum menyalahkan realitas, sehingga apabila dalam kehidupanini kita dapati suatu aturan atau perundang-undangan yang dari segi semangat dan jiwanya relevan dengan Al-Qur’an (maa anzalaLLah), maka aturan atau perundang-undangan itu dapat kita terima (dibenarkan oleh Islam), sekalipun secara harfiah  tidak disebut Al-Qur’an.
Di tengah kaum fundamentalis terus melakukan propaganda formalisasi islam dalam bingkai kekuasaan, sangat menarik untuk memperhatikan gagasan yang dikembangkan oleh prof. Ibrahim Hosen ini. Gagasan untuk mengganti pendekatan ta’abbudi ( pendekatan tradisional-literal) dan menuju pada pendekatan ta’aqquli (rasional) memberikan argumentasi  sekaligus justifikasi bagi berlakunya hukum perundang-undangan (yang oleh kalangan fundamentalis dikatakan sebagai hukum kuffar) di indonesia. Contoh yang dapat dilihat, hukum rajam merupakan perintah Al-Qur’an bagi penzina, namun secara ta’aqquli kita harus melihat terlebih dahulu aspek hikmah dari hukuman tersebut, yaitu membuat jera dan agar sang penzina tidak mengulangi lagi perbuatannya. Karena itu, hukuman rajam dapat diganti dengan hukum apapun yang membuat orang tersebut jera. Pada kasus ini terlihat bahwa illat (sebab) masalah tidak terpaku dalam dimensi waktu, illat dapat berubah sesuai dinamika zaman. Lebih lanjut dijelaskan kang jalal, dahulu illat qashar itu adalah perjalanan, tapi sekarang seiring pergeseran masalah dan kompleksitas pekerjaan, illat qashar dapat bergeser pada tingkat kelelahan akibat rutinitas. Sebagai contoh, bisa saja menqashar sholat ketika kita kelelahan sehabis melakukan aktifitas, misalnya setelah mencari nafkah bagi keluarga.
Pemikiran Prof. Ibrahim hosen ini juga mengatakan bahwa illat dari hukum-hukum baru ditetapkan oleh pemerintahan yang sah. Pemerintah dapat mengecualikan dalil-dalil yang umum atau mensyaratkan dalil-dalil mutlak. Dalam Al-Qur’an, poligami dibenarkan bagi setiap laki-laki muslim, namun pemerintah dapat mengecualikan hukum itu bagi pegawai negeri sesuai peraturan pemerintah.
Pemikiran yang dipaparkan di atas sebenarnya menjadi representasi bagi banyak orang yang menolak relasi agama dan kekuasaan, karena dalam sejarahnya, agama justru menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan status quo. Agama, menurut hemat penulis seharusnya dijadikan sebagai “Open paradigm”, yaitu kerangka sipiritualitas yang terbuka bagi berbagai macam penafsiran atas ajaran agama tersebut, bukan sebaliknya, hanya di hegemoni oleh penafsiran kelompok tertentu.
Disinilah kemudian letak pentingnya kita memberikan makna liberalisasi bagi pemahaman keagaman, yaitu sikap memberikan kebebasan (dalam pengertian yang bertanggung jawab) bagi setiap manusia, setiap golongan, dan setiap kelompok kepentingan untuk menghayati dan menginternalisasikan nilai-nilai spiritualitas agama dalam penghayatan spiritualitas masing-masing. Liberalisasi pemahaman keagamaan juga bertujuan untuk menciptakan ruang terbuka dialogis untuk mendialogkan wacana-wacana spiritualitas dalam menghayati agama serta menghilangkan sikap eksklusif yang berujung pada tindakan radikalisme/fundamentalisme agama, apalagi sikap kekerasan akibat tidak dapat menerima perbedaan pandangan keislaman. Al-Qur’an mengingatkan kita dalam QS Ar-Ruum ayat 31-32,

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta Dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”

Peristiwa menarik yang terjadi ketika perang shiffin, telah diceritakan sebelumnya diatas, ketika Mu’awiyah menawarkan diri untuk berdamai dengan Ali, ada sebagian kelompok yang menolak perjanjian damai tersebut (belakangan bernama kaum khwarij, cikal bakal radikalism dalam islam) dengan alasan Mu’awiyah adalah pemberontak kekuasaan khalifah yang sah, jika Ali menerima perjanjian damai itu, artinya Ali tidak memenuhi perintah Allah dalam adalah QS. Al-Hujurat ayat ke 9,
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Selanjutnya dalam QS. Al-An’am ayat ke 159 disebutkan pula,   
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat.”

            Kelompok Ali telah kafir dan layak untuk diperangi dalam pandangan kaum khawarij, karena Ali tidak memerangi sampai tuntas kelompok Mu’awiyah yang disebutnya sebagai melanggar perjanjian pengangkatan Ali sebagai Khalifah.
Keputusan perjanjian damai Ali dan Mu’awiyah ini kemudian dikatakan tidak sesuai denga perintah Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat ke 9 diatas, padahal telah jelas bagi kaum muslimin untuk mendasarkan segala tindakan sesuai tuntunan Quran dan hadits, Firman Allah dalam QS. Al-Maidah ayat ke 44, 44. 
“….Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”

            Menurut riwayat, pada saat itu, Ali ibn Abi Thalib menanggapi kaum khawarij dengan pernyataan, “Kitab Suci (Al-Qur’an) tidak membawa makna di atas pundaknya, Ia membutuhkan pembaca untuk menangkap maknanya. Dan pembaca itu adalah manusia”. Pernyataan Ali ini memberitahu kita bahwa setiap manusia memiliki potensi ijtihad dalam menangkap jiwa dan semangat ajaran Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hegemoni terhadap penafsiran Al-Qur’an pada satu kelompok tertentu saja berarti mendegradasikan potensi-potensi manusia yang diberikan oleh Tuhan pada manusia.
“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS At-Tiin:05)

            Akhirnya, Demikian yang dapat menjadi sumbangan pemikiran penulis, istilah liberalisasi pemhaman agama sebenarnya istilah yang phobia bagi beberapa kalangan. Harapannya adalah kita dapat menangkap makna dari gagasan ini demi mencegah dan menangkal radikalisme agama yang ada di negara kita dan tetap berkomitmen tentang NKRI yang utuh sebagai sebuah bangsa.

Paling akhir, silahkan tanya diri kalian warga HMI, yang katanya kader ummat kader bangsa, yang katanya berkomitman terhadap nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan. Dimana peran kalian menyikapi peristiwa ini?.Apa yang bisa di lakukan?, tampaknya isu-isu politis lebih menarik ketimbang isu-isu semacam ini...... :)
*sekedar refleksi* :)

*) Warga bangsa yang peduli terhadap arah gerak perubahan spiritualitas kebangsaan.
by Romi HMI

Saturday, May 7, 2011

The 48 Laws of Power by Robert Greene and Joost Elffers

  1. Jangan pernah melebihi Sang Guru
  2. Jangan terlalu mempercayai teman, belajarlah memanfaatkan musuh
  3. Tutup rapat-rapat niatmu
  4. Berbicaralah kurang dari seperlunya
  5. Segalanya tergantung pada reputasi, pertahankan dengan nyawa
  6. Cari perhatian, berapapun harganya
  7. Buat orang lain bekerja untuk kepentinganmu, tapi selalu pastikan kamu yang dipuji
  8. Buat orang datang padamu, gunakan umpan bila perlu
  9. Menangkan melalui tindakan, jangan pernah melalui argumen
  10. Hindari yang tak bahagia dan tak beruntung, mereka menular
  11. Belajarlah membuat orang lain tergantung padamu
  12. Gunakan kejujuran dan kebaikan selektif untuk melucuti korban
  13. Waktu meminta pertolongan, tunjukkan keuntungan dari sisi kepentingan mereka, jangan pernah memohon belas kasihan atau mengharapkan balasan jasa terdahulu
  14. Berpura-pura sebagai teman, bekerja sebagai mata-mata
  15. Hancurkan musuhmu sepenuhnya
  16. Gunakan ketidakhadiran untuk meningkatkan respek dan rasa hormat
  17. Buat orang lain berada dalam kengerian terus menerus, panenlah dari suasana tidak pasti
  18. Jangan membuat benteng untuk melindungi diri, isolasi diri itu berbahaya
  19. Ketahuilah kau berurusan dengan siapa, jangan menyinggung orang yang salah
  20. Jangan pernah setia pada orang lain
  21. Berpura-puralah bodoh, untuk mengetahui orang bodoh.
  22. Gunakan taktik menyerah untuk mengubah kelemahan menjadi kekuatan
  23. Konsentrasikan pasukanmu
  24. Jadilah penjilat yang sempurna
  25. Buat-Ulang dirimu
  26. Jaga tanganmu tetap bersih
  27. Mainkan kebutuhan orang untuk memercayai sesuatu untuk menciptakan pengikut fanatik
  28. Beraksilah tanpa ragu-ragu
  29. Rencanakan seluruh jalan menuju kemenangan
  30. Buatlah seolah-olah pencapaianmu tak terlalu sulit dicapai
  31. Kendalikan pilihan-pilihan, buat orang lain memainkan kartu yang kau tentukan
  32. Permainkan Fantasi orang lain
  33. Cari kelemahan orang lain
  34. Jadilah ningrat dalam bidangmu, bersikaplah seperti raja untuk diperlakukan seperti raja
  35. Kuasai seni timing
  36. Tinggalkan hal-hal yang tak dapat kau miliki: pengabaian merupakan balas dendam terbaik
  37. Buatlah pemandangan yang menakjubkan
  38. Berpikirlah sesukamu, tapi bertingkahlah seperti orang lain
  39. Riakkan air untuk menangkap ikan
  40. Bencilah makan siang gratis
  41. Hindari mengerjakan hal yang dikerjakan orang besar
  42. Serang gembala, dan domba-domba akan tercerai berai
  43. Bekerjalah pada hati dan pikiran orang lain
  44. Lucuti musuhmu, dan buat mereka marah, dengan meniru tindakan mereka
  45. Berkhotbahlah untuk reformasi, tapi jangan merubah terlampau banyak
  46. Jangan pernah terlihat terlalu sempurna
  47. Jangan melampaui batasanmu sendiri, taulah kapan harus berhenti
  48. Jadilah tak berbentuk