Sunday, April 15, 2012

MENGGUGAT BAGI HASIL MIGAS


Oleh: Mudrajad Kuncoro
Gugatan uji materiil (judicial review) Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) atas bagi hasil migas di Sidang Mahkamah Konstitusi RI perlu mendapat perhatian serius. Kalimantan Timur (Kaltim), dan daerah penghasil migas lainnya, hanya mendapatkan dana bagi hasil minyak sebesar 15,5% dan gas 30,5%, padahal Aceh dan Papua menikmati bagi hasil migas 70%. Sistem desentralisasi yang asimetrik dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai dipertanyakan.

Daerah Kaya Tapi Miskin
Kaltim adalah contoh provinsi yang mengalami “growth without development”: pertumbuhan ekonomi daerah memang terjadi namun pembangunan tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat Kaltim. Ini setidaknya tercermin dari indeks eksploitasi ekonomi. Indeks ini menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat atau investor asing, yang diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran konsumsi per kapita (Mubyarto, 2005: 174).
Kaltim termasuk 11 provinsi yang mengalami peningkatan indeks eksploitasi ekonomi selama tahun 1996-2008, bersama daerah kaya SDA lainnya seperti Riau, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan. Tingkat eksploitasi ekonomi Kaltim meningkat dari 89 pada tahun 1996 menjadi 90 pada tahun 2002, dan meningkat menjadi 93 tahun 2008. Artinya, tiap PDRB naik sebesar 100, proporsi yang dinikmati rakyat Kaltim hanya 11% tahun 1996, 10% tahun 2002, dan 7% tahun 2008. Dibanding provinsi lain di Indonesia, Kaltim memiliki indeks eksploitasi ekonomi paling tinggi selama 2004-2008. Indeks ini menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat, investor asing, dan income gap antara kaya dan miskin di Kaltim sangat tinggi, yang berdampak timbulnya rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial antarmasyarakat.
Produksi minyak yang disedot dari bumi Kaltim mencapai 21 juta barrel per tahun. Kaltim juga menghasilkan tidak kurang 120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta m3 kayu, serta kerusakan hutan yang mencapai 65% dibandingkan kondisi tahun 1972. Eksploitasi SDA telah mengakibatkan penyusutan dan gangguan lahan untuk pertanian (12,4 juta ha HPH, 4,2 juta ha tambang, 670 ribu ha migas). Menurut catatan Bernaulus Saragih (2011), Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dari Univeritas Mulawarman, transfer benefit dari SDA alam Kaltim lebih banyak disedot keluar karena Kaltim hanya menerima rata-rata Rp 7 trilliun dari Rp 100-120 trilliun yang ditransfer ke pusat dari SDA kaltim. Pemerintah Pusat tidak memperhatikan komponen biaya eksternalitas akibat eksploitasi SDA yang mencapai Rp 9,23 trilliun per tahun yang semestinya menjadi faktor pembagi dalam perimbangan keuangan. Total nilai kerugian per tahun yang timbul karena disebabkan deplesi sumberdaya hutan, degradasi sumberdaya hutan, pengeruhan sumber air minum, kerusakan lahan/disfungsi, emisi carbon/pencemaran udara dari industri minyak dan gas, tambang batubara, dan kehutanan diestimasi mencapai Rp 9,23 trilyun. Total pembiayaan 15 tahun ke depan, jika tidak ada perbaikan dan jika kerusakan tidak meningkat, diperkirakan sebesar Rp 138,5 trilyun.

Dana Bagi Hasil Migas Tidak Adil
Protes atas ketidakadilan pusat dalam hal alokasi anggaran pembangunan Kaltim melalui upaya tuntutan uji materiil Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang digagas MRKTB adalah sesuatu wajar, bahkan patut diacungi jempol. Masyarakat Kaltim jauh lebih dewasa menyikapi perbedaan dengan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Judicial review dan upaya menuntut keadilan pusat dengan cara yang konstitusional yang elegan yang lebih baik dibanding melakukan tuntutan dengan cara-cara yang keras, anarkis, bahkan mengancam mau memisahkan diri dari NKRI.
MRKTB berpendapat bahwa frasa “84,5% untuk pemerintah dan 15,5% untuk daerah atas bagi hasil minyak”, dan frasa “69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah atas bagi hasil gas” dalam ketentuan Pasal 14 huruf e dan f Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pasal 1 ayat (1), pasal 33 ayat (1), (3) dan (4), pasal 18A ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat (2).
Pembagian bagi hasil migas untuk Papua berdasarkan pada Pasal 34 Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua mengatur pembagian hasil minyak bumi dan gas alam, di mana bagi hasil sumber daya alam (SDA) pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan gas alam sebesar 70%. Dana Bagi hasil migas untuk Aceh, berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga sama dengan Papua. Masalahnya, formula bagi hasil migas 70% untuk Aceh dan Papua dan 30% untuk pemerintah pusat tidak memiliki dasar empiris dan akademis yang kuat. Pertimbangan politis amat kental dalam penentuan bagi hasil migas untuk Aceh dan Papua, mengingat kondisi politik dan ancaman disintegrasi dari NKRI amat kuat saat itu.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.33 Tahun 2004, muncul berbagai protes ketidaksetujuan atas isi undang-undang tersebut. Protes terutama diajukan oleh daerah-daerah yang kaya SDA, seperti NAD, Riau, dan Kaltim. Pasalnya, karena tidak mendapat otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, sekitar 17 daerah penghasil migas hanya menerima dana bagi hasil minyak sebesar 15,5% dan gas 30,5%. Ironisnya, daerah yang kaya SDA mengalami kekurangan pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Tidak mengherankan, daerah yang kaya SDA tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK, Dana Bagi Hasil) dan menghendaki adanya revisi terhadap undang-undang tersebut. Jika dilihat dari komposisi penerimaan dari ketiga daerah yang kaya sumber alam tersebut, dana bagi hasil merupakan komponen terbesar yang mengisi lebih dari 50 persen pundi-pundi daerah. Apalagi daerah Kaltim dan Riau yang sangat terkenal dengan hasil migas memiliki persentase dana bagi hasil mencapai sekitar 60% dari total penerimaan daerah. Ini jelas amat kontras dengan provinsi lain di Indonesia di mana porsi bagi hasil dibanding total penerimaan hanya 13,69%. Mayoritas provinsi di Indonesia masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah sebesar rata-rata 60,86%.
Dana Bagi Hasil yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal pusat dan daerah tidak tercapai. Ternyata, daerah-daerah penghasil migas memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada daerah yang tidak punya sumberdaya alam. Rakyat di daerah kaya SDA hanya mendapatkan sampah, kerusakan lingkungan, dan sedih tak berkesudahan akibat eksploitasi ekonomi.
Dana Bagi Hasil minyak dan gas bagi Kaltim yang ada selama ini ternyata tidak cukup dapat membantu pemerintah daerah untuk membiayai program-program untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Kalimantan Timur, baik itu rendahnya tingkat kesejahteraan, sulitnya pendidikan dan lapangan pekerjaan, buruknya kesehatan, serta lingkungan hidup masyarakat. Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang pola bagi hasil migas yang dinilai tidak adil, bersifat diskriminatif antara daerah otonomi khusus dan penghasil migas di luar Aceh dan Papua.
Akhirnya, rakyat Indonesia mengingat ucapan seorang tokoh penting di negeri ini yang disampaikan di depan masyarakat muslim di Makasar, Sulawesi Selatan, pada saat Shalat Idul Adha tahun 2010 lalu. Beliau mengatakan: “Indonesia akan karam, bukan karena bencana. Indonesia akan karam, karena bencana yang lebih dahsyat. Bencana yang lebih dahsyat, bukan bencana alam. Tetapi bencana ketidakadilan. Bencana ketidakadilan itulah yang akan mengakibatkan Indonesia karam”. Semoga ketidakadilan ini dapat segera diakhiri dengan judicial review di Mahkamah Konstitusi maupun perubahan UU No. 33 tahun 2004 yang dipersiapkan Kementerian Keuangan.
@ Mudrajad Kuncoro, guru besar FEB UGM dan saksi ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi RI.

No comments:

Post a Comment