Oleh: Mudrajad Kuncoro
Gugatan uji materiil (judicial
review) Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) atas bagi hasil
migas di Sidang Mahkamah Konstitusi RI perlu mendapat perhatian serius. Kalimantan
Timur (Kaltim), dan daerah penghasil migas lainnya, hanya mendapatkan dana bagi
hasil minyak sebesar 15,5% dan gas 30,5%, padahal Aceh dan Papua menikmati bagi
hasil migas 70%. Sistem desentralisasi yang asimetrik dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai dipertanyakan.
Daerah Kaya Tapi Miskin
Kaltim adalah contoh provinsi yang
mengalami “growth without development”: pertumbuhan ekonomi daerah
memang terjadi namun pembangunan tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat
Kaltim. Ini setidaknya tercermin dari indeks eksploitasi ekonomi. Indeks ini
menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat atau investor asing,
yang diestimasi dengan membandingkan PDRB per kapita dengan pengeluaran
konsumsi per kapita (Mubyarto, 2005: 174).
Kaltim termasuk 11 provinsi yang
mengalami peningkatan indeks eksploitasi ekonomi selama tahun 1996-2008,
bersama daerah kaya SDA lainnya seperti Riau, Sumatra Utara, dan Sumatra
Selatan. Tingkat eksploitasi ekonomi Kaltim meningkat dari 89 pada tahun 1996
menjadi 90 pada tahun 2002, dan meningkat menjadi 93 tahun 2008. Artinya, tiap
PDRB naik sebesar 100, proporsi yang dinikmati rakyat Kaltim hanya 11% tahun
1996, 10% tahun 2002, dan 7% tahun 2008. Dibanding provinsi lain di Indonesia,
Kaltim memiliki indeks eksploitasi ekonomi paling tinggi selama 2004-2008.
Indeks ini menunjukkan ”eksploitasi ekonomi” oleh pemerintah pusat, investor
asing, dan income gap antara kaya dan miskin di Kaltim sangat tinggi, yang
berdampak timbulnya rasa ketidakadilan dan kecemburuan sosial antarmasyarakat.
Produksi minyak yang disedot dari bumi
Kaltim mencapai 21 juta barrel per tahun. Kaltim juga menghasilkan tidak kurang
120 juta ton batubara, 14 juta ton gas, dan 3 juta m3 kayu, serta kerusakan
hutan yang mencapai 65% dibandingkan kondisi tahun 1972. Eksploitasi SDA telah
mengakibatkan penyusutan dan gangguan lahan untuk pertanian (12,4 juta ha HPH,
4,2 juta ha tambang, 670 ribu ha migas). Menurut catatan Bernaulus Saragih
(2011), Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dari Univeritas Mulawarman,
transfer benefit dari SDA alam Kaltim lebih banyak disedot keluar karena Kaltim
hanya menerima rata-rata Rp 7 trilliun dari Rp 100-120 trilliun yang ditransfer
ke pusat dari SDA kaltim. Pemerintah Pusat tidak memperhatikan komponen biaya
eksternalitas akibat eksploitasi SDA yang mencapai Rp 9,23 trilliun per tahun
yang semestinya menjadi faktor pembagi dalam perimbangan keuangan. Total nilai
kerugian per tahun yang timbul karena disebabkan deplesi sumberdaya hutan,
degradasi sumberdaya hutan, pengeruhan sumber air minum, kerusakan
lahan/disfungsi, emisi carbon/pencemaran udara dari industri minyak dan gas,
tambang batubara, dan kehutanan diestimasi mencapai Rp 9,23 trilyun. Total
pembiayaan 15 tahun ke depan, jika tidak ada perbaikan dan jika kerusakan tidak
meningkat, diperkirakan sebesar Rp 138,5 trilyun.
Dana Bagi Hasil Migas Tidak Adil
Protes atas ketidakadilan pusat dalam
hal alokasi anggaran pembangunan Kaltim melalui upaya tuntutan uji materiil
Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang digagas MRKTB adalah sesuatu
wajar, bahkan patut diacungi jempol. Masyarakat Kaltim jauh lebih dewasa
menyikapi perbedaan dengan menempuh jalur-jalur konstitusional untuk
menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Judicial review dan upaya menuntut keadilan
pusat dengan cara yang konstitusional yang elegan yang lebih baik dibanding
melakukan tuntutan dengan cara-cara yang keras, anarkis, bahkan mengancam mau
memisahkan diri dari NKRI.
MRKTB berpendapat bahwa frasa “84,5%
untuk pemerintah dan 15,5% untuk daerah atas bagi hasil minyak”, dan frasa
“69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah atas bagi hasil gas” dalam
ketentuan Pasal 14 huruf e dan f Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pasal 1 ayat (1), pasal 33
ayat (1), (3) dan (4), pasal 18A ayat (2), pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat
(2).
Pembagian bagi hasil migas untuk Papua
berdasarkan pada Pasal 34 Undang-Undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Bagi Provinsi Papua mengatur pembagian hasil minyak bumi dan gas alam, di mana
bagi hasil sumber daya alam (SDA) pertambangan minyak bumi sebesar 70% dan gas
alam sebesar 70%. Dana Bagi hasil migas untuk Aceh, berdasarkan Undang-Undang
No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga sama dengan Papua.
Masalahnya, formula bagi hasil migas 70% untuk Aceh dan Papua dan 30% untuk
pemerintah pusat tidak memiliki dasar empiris dan akademis yang kuat.
Pertimbangan politis amat kental dalam penentuan bagi hasil migas untuk Aceh
dan Papua, mengingat kondisi politik dan ancaman disintegrasi dari NKRI amat
kuat saat itu.
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang
No.33 Tahun 2004, muncul berbagai protes ketidaksetujuan atas isi undang-undang
tersebut. Protes terutama diajukan oleh daerah-daerah yang kaya SDA, seperti
NAD, Riau, dan Kaltim. Pasalnya, karena tidak mendapat otonomi khusus seperti
Aceh dan Papua, sekitar 17 daerah penghasil migas hanya menerima dana bagi
hasil minyak sebesar 15,5% dan gas 30,5%. Ironisnya, daerah yang kaya SDA
mengalami kekurangan pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Tidak mengherankan, daerah yang kaya
SDA tidak setuju dengan ketetapan dalam hal alokasi dana perimbangan (DAU, DAK,
Dana Bagi Hasil) dan menghendaki adanya revisi terhadap undang-undang tersebut.
Jika dilihat dari komposisi penerimaan dari ketiga daerah yang kaya sumber alam
tersebut, dana bagi hasil merupakan komponen terbesar yang mengisi lebih dari
50 persen pundi-pundi daerah. Apalagi daerah Kaltim dan Riau yang sangat
terkenal dengan hasil migas memiliki persentase dana bagi hasil mencapai
sekitar 60% dari total penerimaan daerah. Ini jelas amat kontras dengan
provinsi lain di Indonesia di mana porsi bagi hasil dibanding total penerimaan
hanya 13,69%. Mayoritas provinsi di Indonesia masih mengandalkan Dana Alokasi
Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah sebesar rata-rata
60,86%.
Dana Bagi Hasil yang bertujuan mengurangi
kesenjangan fiskal pusat dan daerah tidak tercapai. Ternyata, daerah-daerah
penghasil migas memiliki tingkat kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada
daerah yang tidak punya sumberdaya alam. Rakyat di daerah kaya SDA hanya
mendapatkan sampah, kerusakan lingkungan, dan sedih tak berkesudahan akibat
eksploitasi ekonomi.
Dana Bagi Hasil minyak dan gas bagi
Kaltim yang ada selama ini ternyata tidak cukup dapat membantu pemerintah
daerah untuk membiayai program-program untuk pemenuhan hak-hak dasar masyarakat
Kalimantan Timur, baik itu rendahnya tingkat kesejahteraan, sulitnya pendidikan
dan lapangan pekerjaan, buruknya kesehatan, serta lingkungan hidup masyarakat.
Sudah saatnya pemerintah pusat meninjau ulang pola bagi hasil migas yang
dinilai tidak adil, bersifat diskriminatif antara daerah otonomi khusus dan
penghasil migas di luar Aceh dan Papua.
Akhirnya, rakyat Indonesia mengingat
ucapan seorang tokoh penting di negeri ini yang disampaikan di depan masyarakat
muslim di Makasar, Sulawesi Selatan, pada saat Shalat Idul Adha tahun 2010
lalu. Beliau mengatakan: “Indonesia akan karam, bukan karena bencana. Indonesia
akan karam, karena bencana yang lebih dahsyat. Bencana yang lebih dahsyat,
bukan bencana alam. Tetapi bencana ketidakadilan. Bencana ketidakadilan itulah
yang akan mengakibatkan Indonesia karam”. Semoga ketidakadilan ini dapat segera
diakhiri dengan judicial review di Mahkamah Konstitusi maupun perubahan
UU No. 33 tahun 2004 yang dipersiapkan Kementerian Keuangan.
@
Mudrajad Kuncoro, guru besar FEB UGM dan saksi ahli dalam sidang Mahkamah
Konstitusi RI.
No comments:
Post a Comment